Kamis, 03 Januari 2013

Teori Belajar dan Implikasinya Terhadap Evaluasi Pendidikan


TEORI BELAJAR
Teori belajar merupakan teori yang dikemukakan oleh para peneliti dalam upaya mendeskripsikan bagaimana manusia belajar. Dengan demikian akan membantu manusia dalam memahami karakteristik serta pendekatan-pendekatan dalam proses belajar. Secara garis besar terdapat tiga teori belajar, yaitu: Behaviorisme, Kognitivisme, dan Konstruktivisme. Namun belum ada aturan yang pasti tentang teori mana yang paling baik dan paling benar akan tetapi yang lebih penting adalah teori mana yang lebih cocok diterapkan pada kondisi lingkungan tertentu. Sehingga kesimpulannya dari ketiga teori tersebut adalah sama-sama bisa diterapkan pada kondisi lingkungan tertentu yang paling sesuai dengan karakteristik belajarnya.
1. BEHAVIOURISME
. Behaviorisme terdiri dari kata Behave yang berarti berperilaku dan Isme yang berarti aliran. Dilihat dari arti susunan katanya, teori belajar Behaviorisme menitikberatkan pada perubahan tingkah laku. Karakteristik esensial dari teori belajar ini adalah pemahaman terhadap kejadian-kejadian yang terjadi di suatu lingkungan untuk memprediksi perilaku seseorang, bukan pikiran, perasaan, ataupun faktor internal lain yang terjadi pada diri seseorang tersebut.
Teori belajar ini terfokus pada munculnya respon terhadap berbagai stimulus. Stimulus adalah segala sesuatu yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon adalah segala tanggapan atau reaksi yang diberikan siswa terhadap stimulus yang diberikan. Seseorang dikatakan belajar apabila mengalami perubahan tingkah laku. Oleh karena itu pengukuran terhadap stimulus dan respon merupakan hal yang penting. Disamping itu juga ada faktor lain yang dianggap penting yaitu penguatan (Reinforcement), apabila penguatan ditambah (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat, dan sebaliknya.
Teori Behaviorisme cenderung mengarahkan siswa untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Pandangan teori ini bahwa belajar merupakan proses pembentukan atau shapping yaitu membawa siswa menuju atau mencapai target tertentu, sehingga menjadikan peserta didik untuk tidak bebas berkreasi dan berimajinasi. Karena teori behavioristik memandang bahwa sebagai pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka siswa atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Disiplin merupakan hal yang harus dijunjung tinggi. Kegagalan dianggap sebagai seuatu kesalahan. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Beberapa tokoh yang memberikan pengaruh kuat pada teori belajar ini adalah:
a. Teori Classical Coditioning Ivan Pavlov
Secara garis besar Pavlov mencermati arti pentingnya penciptaan kondisi atau lingkungan yang diperkirakan dapat menimbulkan respon pada diri siswa. Pada percobaannya Pavlov mencermati seekor anjing. Dia berharap agar air liur anjing itu bisa keluar bukan karena adanya suatu makanan akan tetapi karena adanya kondisi tertentu yang sengaa dibuat.
Implikasi teori ini dalam pembelajaran dapat diilustrasikan sebagai berikut: jika anak diminta untuk menghafal suatu ayat oleh seorang guru, akan tetapi pada hasil akhir (rapor) anak tersebut tidak mendapat nilai yang lebih dibanding teman-temannya, kelak jika guru tersebut meminta kembali untuk menghafal sesuatu maka anak tersebut akan malas menghafal karena tau bahwa hafal maupun tidak nilainya akan tetap sama. Sebaliknya apabila pada saat guru meminta siswa untuk menghafal ayat dan didepan disediakan hadiah (pensil, penggaris, buku, dan sebagainya) maka dengan sendirinya anak akan berusaha keras untuk menghafal untuk mendapatkan hadiah.
b. Teori Stimulus-Response John B. Watson
Pendekatan teori ini lebih menekankan pada peran stimulus dalam menghasilkan respon karena pengkondisian, mengasimilasikan sebagian besar atau seluruh fungsi dari refleks. Karena itulah Watson dijuluki sebagai pakar psikologi S-R (Stimulus-Response). Dalam percobaannya, Watson mengamati seorang balita yang pada awalnya tidak takut pada tikus. Ketika suatu saat balita tersebut memegang tikus, dia mengeluarkan suara dengan tiba-tiba dan keras. Balita tersebut menjadi takut dengan suara tiba-tiba dan keras sekaligus takut dengan tikus. Akhirnya tanpa suara keras pun balita tersebut takut dengan tikus.
Implikasi teori ini dalam pembelajaran dapat diilustrasikan sebagai berikut: jika guru menulis soal di papan tulis kemudian meminta siswa untuk mengerjakannya, seorang siswa maju kemudian mengerjakan soal akan tetapi jawaban yang diberikan salah. Guru tersebut langsung mencela tanpa menghargai usaha siswa. Suatu saat apabila guru tersebut meminta siswa untuk maju mengerjakan soal maka siswa akan takut untuk mengerjakan soal.
c. Teori Law of Effect Edward Thorndike
Dalam eksperimennya, Thorndike mengemukakan prinsip yang ia sebut hukum efek. Hukum ini menyatakan bahwa perilaku yang diikuti kejadian yang menyenangkan, lebih cenderung akan terjadi lagi di masa mendatang. Sebaliknya, perilaku yang diikuti kejadian yang tidak menyenangkan akan memperlemah, sehingga cenderung tidak terjadi lagi di masa mendatang.
Implikasi teori ini dalam pembelajaran dapat diilustrasikan sebagai berikut:
clip_image001
Kondisi/lingkungan
d. Teori Operant Conditioning B.F. Skinner
Skinner mengidentifikasi sejumlah prinsip mendasar dari Operant Conditioning yang menjelaskan bagaimana seseorang belajar perilaku baru atau mengubah perilaku yang telah ada. Prinsip-prinsip utamanya adalahreinforcement (penguatan kembali), punishment (hukuman), shaping(pembentukan), extinction (penghapusan), discrimination (pembedaan), dangeneralization (generalisasi).
2. KOGNITIVISME
Menjelang berakhirnya tahun 1950-an banyak kritik yang muncul terhadap behaviorisme. Kognitivisme tidak seluruhnya menolak gagasan behaviorisme, namun lebih cenderung pada perluasannya. Pakar psikologi kognitif modern berpendapat bahwa belajar melibatkan proses mental yang kompleks, termasuk memori, perhatian, bahasa, pembentukan konsep, dan pemecahan masalah.
Beberapa tokoh yang berperan dalam teori belajar ini adalah:
- Tollman yang menunjukkan bahwa belajar adalah lebih dari sekedar memperkuat respon melalui penguatan
- Jerome Bruner yang memiliki gagasan berdasarkan kategorisasi “memahami adalah kategorisasi, konseptualisasi adalah kategorisasi, belajar adalah membentuk kategori-kategori, membuat keputusan adalah kategorisasi.”
- Noam Chomsky yang berpendapat bahwa otak manusia memiliki “hardware” untuk bahasa sebagai hasil dari evolusi
- Piaget yang memiliki asumsi dasar kecerdasan manusia dan biologi organism berfungsi dengan cara yang sama. Keduanya adalah sistem terorganisasi yang secara konstan berinteraksi dengan lingkungan
- Vygotsky yang berpendapat bahwa ada perbedaan antara konsep dan bahasa ketika seseorang masih belia, tetapi seiring berjalannya waktu keduanya akan menyatu. Bahasa mengekspresikan konsep, dan konsep digunakan dalam bahasa.
Kognitivisme sering mengambil contoh pemrosesan informasi dalam komputer sebagai model (teori pengolah informasi). Belajar dipandang sebagai proses dari input, dikelola dalam short term memory, dan dikirim dalam long term memory untuk dapat dipanggil pada saat diperlukan. Belajar adalah mengubah pemahaman dan struktur menjadi lebih teratur dan jelas karena adanya otak yang mengolah informasi.
Implikasi teori belajar kognitif dalam pembelajaran adalah guru harus memahami bahwa siswa bukan sebagai orang dewasa yang mudah dalam proses berpikirnya, anak usia pra sekolah dan awal sekolah dasar belajar menggunakan benda-benda konkret, keaktifan siswa sangat dipentingkan, guru menyusun materi dengan menggunakan pola atau logika tertentu dari sederhana ke kompleks, guru menciptakan pembelajaran yang bermakna, memperhatian perbedaan individual siswa untuk mencapai keberhasilan siswa. Guru juga harus mempersiapkan materi/bahan ajar yang mudah dicerna oleh siswa agar siswa lebih mudah dalam mengolah informasi (belajar).
3. KONSTRUKTIVISME
Dalam perkembangannya, arus kognitivisme bergeser ke arah konstruktivise. Konstruktivisem memandang bahwa belajar melibatkan konstruksi pengetahuan seseorang dari pengalamannya sendiri oleh dirinya sendiri. Siswa dipandang sebagai makhluk yang aktif dalam mengkonstruksi ilmu pengetahuan melalui interaksi dengan lingkungannya. Guru yang dipandang sebagai fasilitator dalam proses pembelajaran, hendaknya mengetahui tingkat kesiapan anak dalam menerima pelajaran, termasuk memilih metode yang tepat dan sesuai dengan tahap perkembangan anak.
Apabila Behaviorisme dan kognitivisme memandang pengetahuan sebagai suatu yang eksternal dan proses belajar sebagai kegiatan internalisasi pengetahuan maka konstruktivisme beranggapan bahwa pebelajar bukanlah bejana yang kosong untuk selanjutnya diisi dengan pengetahuan. Melainkan, pebelajar adalah organisme aktif yang berusaha menciptakan makna. Pebelajar memilih cara belajarnya sendiri. (Driscoll: 2000)
Pengetahuan tidak bisa ditransfer begitu saja, melainkan harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing orang. Pengetahuan juga bukan sesuatu yang sudah ada, melainkan suatu proses yang berkembang terus-menerus. Dalam proses itu keaktivan seseorang sangat menentukan dalam mengembangkan pengetahuannya.
Konsep model pembelajaran konektivisme mempunyai beberapa aliran, yaitu:
a. Pendekatan Piaget
b. Konstruktivisme Pribadi
c. Konstruktivisme Radikal
d. Konstruktivisme Sosial
Berikut ini akan dikemukakan ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis menurut beberapa literatur yaitu :
- Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah ada sebelumnya
- Belajar adalah merupakan penafsiran personal tentang dunia
- Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna dikembangkan berdasarkan pengalaman
- Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negosiasi) makna melalui berbagai informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam berinteraksi atau bekerja sama dengan orang lain
- Belajar harus disituasikan dalam latar (setting) yang realistik, penilaian harus terintegrasi dengan tugas dan bukan merupakan kegiatan yang terpisah. (Yuleilawati, 2004 :54)
Sedangkan menurut Siroj (http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/43/rusdy-a-siroj.htm) ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis adalah :
- Menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan.
- Menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara.
- Mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep melalui kenyataan kehidupan sehari-hari.
- Mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antara siswa, guru, dan siswa-siswa.
- Memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif.
- Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga menjadi menarik dan siswa mau belajar.
IMPLIKASI TEORI BELAJAR TERHADAP KONSEP EVALUASI PENDIDIKAN
1. BEHAVIORISME
Menurut teori ini yang terpenting adalah masukan atau input yaitu berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respon. Sedangkan apa yang terjadi diantara stimulus dan respons itu dianggap tidak penting diperhatikan sebab tidak bisa diamati. Hasil belajar adalah hal yang sangat menentukan apakah seseorang dikatakan berhasil atau malah sebaliknya yaitu gagal. Hal ini tanpa melihat proses untuk memperoleh hasil belajar itu sendiri.
clip_image001[6]
Prinsip-prinsip teori behaviorisme yang banyak dipakai didunia pendidikan ialah (Harley & Davies, 1978 dalam Toeti, 1997):
  • Proses belajar (KBM) dapat berhasil dengan baik apabila si pebelajar ikut berpartisipasi secara aktif didalamnya
  • Materi pelajaran (KBM) dibentuk dalam bentu unit-unit kecil dan diatur berdasarkan urutan yang logis sehingga si pebelajar mudah mempelajarinya
  • Tiap-tiap respon (kompetensi) perlu diberi umpan balik secara langsung, sehingga si pebelajar dapat mengetahui apakah respon yang diberikan telah benar atau belum
  • Setiap kali si pebelajar memberikan respons yang benar maka ia perlu diberi penguatan. Penguatan positif ternyata memberikan pengaruh yang lebih baik daripada penguatan negative (evaluasi)
clip_image003
Oleh karena teori behavioristik memahami bahwa seseorang dikatakan belajar apabila mengalami perubahan tingkah laku, maka evaluasi dapat dilakukan dengan cara melihat perubahan tingkah laku yang ditunjukkan oleh siswa. Apabila perubahan tingkah lakunya besar (menunjukkan hasil belajar yang baik) maka dikatakan bahwa siswa tersebut berhasil, akan tetapi apabila perubahan tingkah laku yang ditunjukkan siswa sedikit (hasil belajar tidak sesuai dengan target) maka dikatakan suatu kesalahan. Dengan demikian apabila hasil belajar tidak sesuai dengan yang diharapkan maka guru akan mengadakan evaluasi terhadap masukan (stimulus) agar respon yang diberikan siswa lebih baik (tanpa mempertimbangkan proses belajar).
Evalusi menuntut satu jawaban benar. Jawaban benar menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajarnya. Evaluasi juga dipandang sebagai bagian terpisah dari kegiatan pembelajaran, biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan belajar dengan menekankan pada evaluasi individu.
Kelebihan dari teori ini adalah siswa dituntut untuk berusaha mencapai target yang ditentukan (kurikulum, nilai, dan sebagainya), dengan konsekuensi apabila target terpenuhi maka dikatakan berhasil dan patut mendapatkan hadiah sedangkan bila target tidak terpenuhi maka siswa dikatakan gagal dan patut mendapat hukuman.
2. KOGNITIVISME
Dalam teori kognitivisme, belajar merupakan keterlibatan penguasaan atau penataan kembali struktur kognitif dimana seseorang memproses dan menyimpan informasi. Belajar juga merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, pengolahan informasi, emosi, dan aspek kejiwaan lainnya dimana pengetahuan yang diterima disesuaikan dengan struktur kogniitf yang sudah dimiliki seseorang berdasarkan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. Teori ini lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar.
Dengan memahami konsep belajar demikian, maka evaluasi yang dilakukan pun berbeda dengan behaviorisme. Dalam behavioristme evaluasi dilakukan setelah pembelajaran selesai dan bersifat individu, namun dalam kognitivisme ini evaluasi dilakukan tidak harus menunggu materi pembelajaran selesai dengan kata lain ditengah-tengah kegiatan pembelajaran guru sudah bisa melakukan proses evaluasi. Jawaban yang dibutuhkan pun tidak terbatas pada satu jawaban pasti akan tetapi siswa dapat lebih kreatif menjabarkan pengetahuan yang dimilikinya selama ini.
3. KONSTRUKTIVISME
Evaluasi pada teori konstruktivisme ini digunakan untuk menggali munculnya berfikir divergent, pemecahan ganda, dan bukan hanya satu jawaban yang benar. Selain itu evaluasi disini juga merupakan bagian utuh dari pembelajaran dengan cara memberikan tugas-tugas yang bermakna serta menerapkan apa yang dipelajari yang menekankan pada keterampilan proses.
Evaluasi yang dilakukan hamper sama dengan teori kognitivisme. Ditengah-tengah proses pembelajaran guru bisa mengajukan pertanyaan untuk mengevaluasi pemahaman siswa terhadap materi yang disampaikan. Berbagai macam metode dapat diterapkan oleh guru, antara lain: Tanya jawab, penyelidikan/menemukan, dan komunitas belajar.
Kegiatan bertanya sangat berguna dalam pembelajaran yang produktif seperti dikemukakan
Nurhadi (2003: 14) berikut ini:
1. menggali informasi, baik administrasi maupun akademis
2. mengecek pemahaman siswa
3. membangkitkan respon kepada siswa
4. mengetahui sejauh mana keinginan siswa
5. mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa
6. memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru
7. membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa
8. menyegarkan kembali pengetahuan siswa
Sesuai dengan peranan guru dalam teori konstruktivisme ini adalah guru sebagai fasilitator sehingga guru tidak selalu memberikan materi di kelas, siswa berperan aktif dalam proses pembelajaran. Sehingga dalam KBM terjadi timbal balik antara guru dengan siswa yang menyebabkan aspek penilaian guru menjadi semakin banyak dan tidak terpacu pada hasil akhir (ujian).
Kesimpulan:
implikasi ketiga teori belajar yang telah dijelaskan (behaviorisme, kognitivimse, konstruktivisme) terhadap evaluasi pendidikan adalah bahwa kurikulum yang dikembangkan hendaknya tidak terlalu ketat dalam arti dapat mengembangkan kreatifitas dan produktifitas siswa, evaluasi hendaknya tidak hanya diukur dari hasil belajar siswa (rapor) akan juga mengacu pada proses belajar dimana siswa dituntut aktif dan memiliki semangat belajar tinggi, guru hendaknya memahami karakteristik belajar siswa karena setiap siswa memiliki perbedaan dalam kecepatan menangkap ilmu pengetahuan serta memiliki caranya sendiri untuk belajar. Dengan mengetahui berbagai teori belajar diharapkan pendidikan di Indonesia dapat terus dievaluasi sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan yang ditentukan dengan baik.

Sumber:
fajarss.blog.uns.ac.id/files/2010/04/teori-belajar.pdf
jurnal.ump.ac.id/_berkas/jurnal/11.pdf
mardikanyom.tripod.com/Konektivisme.pdf
indanamardiani.files.wordpress.com/2010/04/artikel-1.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar