1.1 LATAR BELAKANG
Psikolinguistik adalah penggabungan antara dua kata
“psikologi” dan “linguistik”, yang merupakan dua buah disiplin yang berlainan
dan berdiri sendiri. Secara kebetulan kedua disiplin ini mengkaji suatu perkara
yang sama, yaitu bahasa, dengan cara yang berlainan dan dengan tujuan yang
berlainan pula.
Temuan psikolinguistik amat beragam jumlah dan versi
teorinya. Salah satu temuan psikolinguistik yang sangat penting bagi pengajaran
bahasa adalah lahirnya perbedaan konsep antara pemerolehan bahasa (language acquisition) dan pembelajaran
bahasa (language learning).
Oleh karena adanya keragaman dan variasi temuan
psikolinguistik, maka akan diuraikan mengenai temuan mengenai pemerolehan
fonologi, kosa kata, sintaksis, dan semantik, serta pragmatik.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Permasalahan
yang akan dibahas pada makalah ini adalah :
1) Bagaimana
pemerolehan fonologi dalam psikolinguistik?
2) Bagaimana
pemerolehan kosa kata dalam psikolinguistik?
3) Bagaimana
pemerolehan sintaksis dalam psikolinguistik?
4) Bagaimana
pemerolehan semantik dalam psikolinguistik?
5) Bagaimana
pemerolehan pragmatik dalam psikolinguistik?
1.3 METEDOLOGI PENELITIAN
Makalah ini menggunakan
pendekatan studi pustaka.
1.4 SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk mendapatkan
gambaran yang lebih lengkap dari pembahasan ini, maka penulis membagi menjadi
tiga bab dan setiap bab memiliki sub-sub yang berkaitan.
Sistematika penulisan secara terperinci sebagai berikut :
1. Bab pertama adalah
pendahuluan, bab ini terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah,
metode penulisan dan sistematika penulisan
2. Bab kedua adalah
pembahasan meliputi: pembelajaran bahasa, sejarah pembelajaran bahasa, strategi
pembelajaran bahasa indonesia, metode pembelajaran, teknik pembelajaran.
3. Bab ketiga adalah
penutup. Bab ini terdiri dari kesimpulan.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 PEMEROLEHAN FONOLOGI
Jakobson
mengemukakan bahasa ada keuniversalan dalam bunyi-bunyi bahasa, dan urutan
pemerolehannya. Menurut Jakobson, pemerolehan bunyi berjalan selaras dengan
kodrat bunyi itu sendiri dan anak memperoleh bunyi-bunyi ini melalui suatu cara
yang konsisten. Bunyi yang pertama yang keluar dari anak adalah kontras antara
vocal dan konsonan. Dalam hal bunyi vocal ini, ada tiga vocal yang disebut
sebagai sistem vocal minimal (minimal
vocalic system) yang sifatnya universal. Artinya, dalam bahasa manapun
ketiga bunyi vocal ini pasti ada :
I
U
A
Suatu bahasa bisa memiliki lebih dari tiga vokal
ini, tetapi tidak ada bahasa yang memiliki kurang daripada tiga vokal ini.
Mengenai konsonan, Jakobson mengatakan bahwa kontras
pertama muncul adalah oposisi antara oral dengan nasal dan kemudian disusun
oleh labial dengan detal. Sistem kontras ini disebut sistem konsomental minimal
(minimal consonantal system).
Inventori bunyi-bunyi bisa saja berbeda dari satu
bahasa ke bahasa yang lain yang memang merupakan fakta, tetapi hubungan sesama
bunyi itu sendiri bersifat universal. Oleh karena itu terdapat hukum yang
dinamakan Laws of Irreversible.
Kalau kita perhatikan urutan pemerolehan bunyi-bunyi
yang dilakukan oleh anak, yakni dari bunyi yang mudah ke bunyi yang sukar, maka
dapat dikatakan bahwa anak mengikuti kaidah yang dinamakan The Law of Least Efforts (kaidah usaha minimal). Ukuran mudah
sukarnya suatu bunyi didasarkan pada artikulasi dan jumlah fitur distingtif
yang ada pada masing-masing bunyi.
Clark dan Clark
lebih jauh menemukan fakta-fakta bagi representasi berdasarkan orang dewasa
dalam kenyataan bahwa :
1) Anak-anak
mengenali makna-makna berdasarkan persepsi mereka sendiri terhadap bunyi
kata-kata yang mereka dengar;
2) Anak-anak
menukar (mengganti) ucapan mereka dari waktu ke waktu menuju orang dewasa;
3) Anak-anak
mulai menghasilkan segmen bunyi tertentu.
à Beberapa teori pemerolehan fonologi :
2.1.1 Teori Struktural Sejagat
Teori ini mencoba menerangkan
pemerolehan fonologi berdasarkan jagat-jagat linguistik, ysitu hukum-hukum
structural yang mengatur tiap-tiap perubahan bunyi. Teori ini ditemukan oleh
Jakobson.
2.1.2 Teori Generatif Struktural Sejagat
Unsur-unsur yang paling menonjol dari
teori ini adalah penemuan konsep dan pembentukan hipotesis berupa unsur-unsur
yang dibentuk oleh kanak-kanak berdasarkan data-data linguistik utama, yaitu
kata-kata dan kalimat yang didengarkan sehari-hari. Teori ini dikemukakan oleh
Moskowitz dengan meluaskan teori struktural sejagat yang diperkenalkan oleh
Jakobson dengan cara menerapkan unsur-unsur fonologi yang diperkenalkan oleh
Chomsky dan Halle (1963).
2.1.3 Teori Proses Fonologi Alamiah
Teori ini dilandasi oleh pengandaian
bahwa sistem fonologi suatu bahasa pada umumnya merupakan bukti dari satu
sistem proses-proses fonologi nurani yang disesuaikan dengan cara-cara tertentu
oleh pengalaman-pengalaman linguistik. Menurut Stampe, proses-proses fonologi
kanak-kanak bersifat nurani yang harus mengalami penindasan, pengaturan
penuranian representasi fonemik orang dewasa. Teori ini diperkenalkan oleh
David Stampe.
2.1.4 Teori Prosodik Akustik
Pemerolehan bahasa merupakan suatu
proses sosialisasi, sehingga pengkajian data mengenainya lebih tepat dilakukan
di rumah dalam konteks sosialisasi terutama untuk mengetahui proses-proses yang
berlaku pada waktu pemerolehan fonologi. Teori ini diperkenalkan oleh Waterson.
2.1.5 Teori Persepsi Penuh Sistem Logogen
Teori ini diperkenalkan oleh Smith.
Dalam melahirkan fonologinya, Smith telah menggabungkan kesimpulan pengamatan
penuh dengan satu model psikologi yang eksplisit, yaitu model logogen yang
diperkenalkan oleh Morton.
2.1.6 Teori Kontras dan Proses
Teori
ini diperkenalkan oleh Ingram, yaitu satu teori yang menggabungkan
bagian-bagian penting daripada teori Jakobson dengan bagian-bagian penting
daripada teori Stampe kemudian menyelaraskan hasil gabungan ini dengan teori
perkembangan Piaget.
2.2 PEMEROLEHAN KOSA KATA
Secara konseptual antara pemerolehan bahasa atau
perkembangan pemerolehan bahasa dengan perkembangan bahasa adalah berbeda.
Perkembangan pemerolehan bahasa menekankan segi pemerolehan bahasa yang
ditandai oleh awal kelahiran seorang bayi, sedangkan aspek perkembangan bahasa
mempersoalkan bagaimana perkembangan bahasa yang telah diperoleh.
Dalam pemerolehan kosa kata, anak mempelajari dua
jenis kosa kata, yaitu kosa kata umum dan kosa kata khusus. Pada setiap jenjang
umur, kata-kata umum lebih banyak dari pada kosa kata khusus.
2.2.1 Kosa Kata Umum
1) Kata
benda
2) Kata
kerja
3) Kata
sifat
4) Kata
keterangan
5) Kata
ganti
2.2.2 Kosa Kata Khusus
1) Kosa
kata warna
2) Jumlah
kosa kata
3) Kosa
kata waktu
4) Kosa
kata uang
5) Kosa
kata ucapan populer
6) Kosa
kata sumpah
7) Bahasa
rahasia
Menurut para
pakar, urutan pemerolehan kosa kata seorang anak dimulai dari kosa kata dasar (basic vocabulary). Tarigan mencoba
merinci jenis-jenis kosa kata dasar, yaitu :
1) Istilah
kekerabatan
2) Nama-nama
bagian tubuh
3) Kata
ganti pokok (diri, penunjuk)
4) Kata
bilangan pokok
5) Kata
kerja pokok
6) Kata
keadaan pokok
7) Nama
benda-benda
Hal yang perlu dicatat, bahwa setelah anak memasuki
usia sekolah perkembangan kosa katanya akan semakin luas. Diperkirakan seorang
anak kelas 1 SD telah mengetahui kira-kira antara 20.000 hingga 24.000.
sedangkan anak kelas IV SD diperkirakan telah mengetahui sekitar 50.000 kosa
kata dan anak yang telah memasuki SMU telah mengetahui 80.000 kosa kata.
2.3 PEMEROLEHAN SINTAKSIS
Pada umumnya para peneliti
pemerolehan bahasa beranggapan bahwa pemerolehan sintaksis hanya bermula
apabila kanak-kanak mulai menggabungkan dua atau lebih kata-kata (lebih kurang
umur 2 tahun). Oleh karena itu, peningkatan satu kata atau holoprastik (lihat
Steinberg, 1949 :157) pada umumnya dianggap hidup berkaitan dengan perkembangan
sintaksis sebab masa ini anak belum memiliki ciri penggabungan dengan kata lain
untuk membentuk frasa atau klausa.
Meskipun ahli-ahli seperti E.Clark (1977) dan Gagman (1979) dalam
Simanjuntak (1987 : 199) mempunyai keyakinan bahwa peringkat satu kata
(holoprastik) ini dapat memberikan gambaran dalaman mengenai perkembangan
sintaksis dan karena itu ada baiknya diikutsertakan dalam teori pemerolehan
sintaksis. Berikutnya berbicara mengenai penguasaan sintaksis ini akan dibagi
dua bagian, yaitu pemerolehan sintaksis pada anak usia pra-sekolah (0-4 tahun)
dan pada anak usia sekolah (5 tahun ke atas).
2.3.1 Pemerolehan Sintaksis Pada Anak Usia 0-4
Tahun
Di dalam perkembangan anak
(normal), konstruksi sintaksis paling awal dapat diamati pada usia sekitar 8
bulan. Namun, pada beberapa anak tertentu sudah dapat ditemui pada usia sekitar
1 tahun, sedangkan pada beberapa anak yang lain pada usia dari dua tahun.
Perkembangan penguasaan kosa kata.
Tahap
perkembangan sintaksis pada anak secara singkat dapat dirangkum sebagai berikut
(Ingram, 1989 : 3); ini pentahapan yang dikenal secara tradisional.
1) Masa
“pra-lingual”- Lahir sampai akhir usia 1 tahun.
2) Kalimat
satu kata - sekitar 1 tahun sampai 1,5 tahun.
3) Kalimat
dengan rangkaian kata - sekitar 1,5- 2 tahun
4) Konstruksi
sederhana dan kompleks – 3 tahun. (Purwo,1991 :1211).
Pada usia 2 tahun anak mulai
menguasai kaidah infleksi (deklinasi, konjungsi, dan perbandingan), dan pada
usia 2,6 ke atas terjadi pemunculan klausa sematan dan kalusa subordinatif.
Sebelum usia 3 tahun anak mulai menanyakan hal-hal yang abstrak, dengan kata
tanya seperti mengapa?, kapan, (Stern, 1924 dikutip dari Ingran 1989 :39-45
melalui (Purwo, 1991 : 121).
Dalam hal ini, ada beberapa
perbedaan pendapat diantara para peneliti. Nice (1925, dikutip dari Ingran 1989
: 46), misalnya melaporkan bahwa anak usia 3 tahun baru dapat menguasai kalimat
pendek atau kalimat tidak sempurna. Adapun kalimat lengkap dan kalimat kompleks
baru dikuasai anak usia 4 tahun. Perbedaan ini menurut Bowerman (1981), antara
lain karena perbedaan mengenai jenis-jenis kalimat yang didefinisikan sebagai
kalimat “kompleks” dan perbedaan mengenai pengetahuan yang dimaksud sudah
memiliki anak sehingga dapat menghasilkan “kalimat kompleks” itu. Akan tetapi,
menurut Bowerman, kebanyakan penelitian berkesimpulan bahwa sebagian besar
jenis-jenis kalimat kompleks sudah muncul pada anak usia 2 dan 4 tahun.
Pada paruh kedua usia 3 tahun
muncul penggunaan konjungsi koordinatif dan subordinatif. Sebelum usia, klausa
hanya disejajarkan saja, tanpa dirangkai dengan konjungsi. Pada usia ini, belum
terdapat konstruksi dengan klausa yang menduduki fungsi subjek. Menurut Limber
(1976, dikutip dari Bowerman, 1981 :288), keterlambatan “pengoperasian subjek”
ini bukan karena kekurangtahuan anak, melainkan kebanyakan kalimat yang diucapkan oleh anak pada usia
ini mengandung subjek yang berupa promina atau nama diri, yang memang tdak
terbuka untuk mengalami perluasan konstruksi.
2.3.2 Penguasaan Sintaksis Anak Usia 5 Tahun ke
Atas
Sampai dengan tahun 1960-an orang
beranggapan bahwa anak sudah dapat menguasai sintaksis bahasa ibunya pada usia
5 tahun, dan perkembangan selanjutnya hanyalah penambahan kata-kata
canggih. Disertai Carol Chomsky (1968
terbit 1969) melawan anggapan ini. Di dalam penelitian itu ditelusuri perbedaan
antara tata bahasa anak usia 5 sampai 10 tahun dan tata bahasa orang dewasa,
dan tersingkaplah bahwa ada sejumlah sintaksis bahasa Inggris yang belum
dikuasai dengan sempurna pada anak usia sekolah dasar. Pendapat ini didukung
oleh pengetahuan mengenai perkembangan kognitif anak. Pada anak usia antara 5
dan 14 masih terjadi perubahan kognitif yang mendasar. Kalau kita menganut
pandangan Piaget, yaitu bahwa perkembangan bahasa berkaitan dengan perkembangan
bahasa erat berkaitan dengan perkembangan kognitif, maka masih akan terjadi
pula perkembangan bahasa pada anak usia 5 tahun.
2.3.3 Teori Tata Bahasa Pivot
Kajian mengenai pemerolehan
sintaksis oleh kanak-kanak dimulai ileh Braence (1963), Bellugi (1964), Broern
dan Fraser (1964), dan Miller dan Ervin (1964). Menurut kajian awal ini ucapan
dua kata kanak-kanak ini terdiri dari dua jenis kata menurut posisi dan
frekuensi munculnya kata-kata itu di dalam kalimat. Kedua jenis kata ini
kemudian dikenal dengan nama kelas Pivot dan kelas terbuka. Kemudian
berdasarkan kedua jenis kata ini lahirlah teori yang disebut teori tata bahasa
Pivot. Pada umumnya kata-kata yang termasuk kelas pivot adalah katap-kata
fungsi (function words) atau kata penuh (full words) seperti kata-kata berkategori
nomina dan verba. Ciri-ciri umum kedua jenis kata ini adalah berikut ini.
Kelas Pivot
|
Kelas Terbuka
|
1. Terdapat
pada awal atau akhir kalimat.
2.
Jumlahnya terbatas, tetapi sering muncul.
3. Jarang
muncul anggota baru (kata baru).
4. Tidak pernah
muncul sendirian.
5. Tidak
pernah muncul bersama dalam satu kalimat
6. Tidak
punya rujukan sendiri; tetapi selalu
merujuk pada kata-kata lain dari kelas terbuka.
|
1. Dapat
muncul pada awal dan akhir kalimat.
2. Jumlahnya tidak terbatas, sehingga tidak
begitu sering muncul.
3. Sering muncul angora baru (kata baru)
4. Bisa muncul sendirian.
5. Bisa muncul bersama dalam satu kalimat;
atau juga dari kelas pivot.
6.
Mempunyai rujukan sendiri.
|
Gabungan kata
pivot dan kata kelas terbuka menurut Mc. Neil yang mungkin adalah:
P + O
O + P
O + O
O
Yang
tidak mungkin adalah
*P + P
*P
2.3.4 Teori Hubungan Bahasa Nurani
Tata bahasa generative transformasi
dari Chomsky (1957,1965) sangat terasa pengaruhnya dalam pengkajian
perkembangan sintaksis kanak-kanak. Menurut Chomsky hubungan-hubungan tata
bahasa tertentu seperti “subjek-of, predicate-of, dan direct object-of)” adalah
bersifat universal dan dimiliki oleh semua bahasa yang ada di dunia ini.
Berdasarkan teori Chomsky tersebut,
Mc. Neil (1970) menyatakan bahwa pengetahuan kanak-kanak mengenai
hubungan-hubungan tata bahasa universal ini adalah bersifat “nurani”. Maka itu,
akan langsung mempengaruhi pemerolehan sintaksis kanak-kanak sejak tahap
awalnya. Jadi, pemerolehan sintaksis ditentukan oleh hubungan-hubungan tata
bahasa universal ini.
Menurut teori
generative transformasi Chomsky hubungan subject-of dapat dirumuskan seperti
bagan berikut:
K FN + FV
Keterangan:
K =
kalimat FN = frase nomina
FV =
frase verbal
Sejalan dengan teori
hubungan-hubungan bahasa nurani ini, Menyuk (Simanjuntak, 1987) menyarankan
satu teori pemerolehan sintaksis yang ditentukan oleh system linguistic
generative transformasi yang telah menajdi sebagian pengetahuan kanak-kanak.
Pengetahuan yang telah diperoleh sejak lahir ini mengenai rumus-rumus struktur
dasar tata bahasa dan rumus-rumus transformasi dan fonologi mennetukan
bentuk-bentuk ucapan kanak-kanak. Jadi menurut Menyuk, tanpa konteks ekstra
linguistik, ucapan awal kanak-kanak akan menunjukan hubungan atau urutan S + V
(subjek + verba) dengan posisi O (objek) sebagai opsional. Dengan demikian,
kalimat-kalimat berurutan OSV dan SOV pun akan muncul di samping
kalimat-kalimat SVO.
2.3.5 Teori Hubungan Tata Bahasa Dan Informasi
Situasi
Selanjutnya
Bloom juga menyatakan bahwa suatu gabungan kata telah digunakan oleh kanak-kanak
dalam suatu situasi yang berlainan. Juga dengan hubungan yang berlainan di
antara kata-kata alam gabungan itu. Umpamanya, kedua kata benda dalam “momy
sock” pada contoh yang lalu sangat jelas menunjukan hal itu. Pada situasi
pertama hubungan kedua kata benda itu adalah menyatakan hubungan subjek-objek,
sedengkan dalam situasi kedua adalah hubungan pemilik-objek. Contoh lain “sweet
chair” yang disajikan di atas kiranya dapat menyatakan tiga hubungan bergantung
pada situasinya. Dalam bahasa Indonesia ucapan “ibu kue” dalam situasi yang
berbeda-beda dapat diartikan:
1) anak
itu meminta kue kepada ibunya
2) anak
itu menunjukan kue kepada ibunya.
3) anak
itu menawarkan kue kepada ibunya.
4) anak
itu memberitahukan ibunya bahwa kuenya jatuh atau diambil orang lain, dan
sebaginya.
2.3.6 Teori Komulatif Kompleks
Teori ini dikemukakan oleh Brown
(1973) berdasarkan data yang dikumpulkannya. Menurut Brown, urutan pemerolehan
sintaksis oleh kanak-kanak ditentukan oleh kumulatif kompleks semantik merfem
dan kumulatif kompleks tata bahasa yang sedang diperoleh itu. Jadi, sama sekali
tidak ditentukan oleh frekuensi munculnya morfem atau kata-kata itu dalam
ucapan orang dewasa. Dari tiga orang kanak-kanak (berusia dua tahun) yang
sedang memperoleh bahasa Inggris yang diteliti Brown, ternyata morfem yang
pertama dikuasai adalah bentuk progressive-ing dari kata kerja; padahal bentuk
ini tidak sering muncul dalam ucapan-ucapan orang dewasa.
2.3.7 Teori Pendekatan Semantik
Teori pendekatan semantik ini
menurut Greenfield dan Smith (1976)
pertama kali diperkenalkan oleh Bloom. Dalam hal ini Bloom (1970)
mengintergrasikan pengetahuan semantik dalam perkembangan sintaksis ini
berdasarkan teori generative transformasinya Chosmky (1965).
Perbedaan antara
pendekatan semantik ini dengan teoari hubungan tata bahasa nurani adalah bahwa
kalau teori tata bahasa nurani menerapkan hubungan-hubungan sintaksis dalam
menganalisis struktur ucapan kanak-kanak, maka teori pendekatan semantik
menemukan strujtur ucapan itu berdasarkan hubungan-hubungan semantik. Jadi
teori hubungan tata bahasa nurani menerapkan struktur sintaksis orang dewasa,
yaitu:
K FN + FV
pada ucapan-ucapan kanak-kanak,
sedangkan teori pendekatan semantik menemukan struktur:
Agen + kerja + objek, atau
Agen + kerja, atau
Objek + kerja
pada ucapan kanak-kanak, yaitu
struktur yang menggambarkan hubungan-hubungan semantik. Namun, menurut Bowerman
(1973) dan Brown (1973) hubungan-hubungan semantik ini tidak selalu sejalan
atau sesuai dengan hubungan-hubungan sintaksis yang diterapkan.
2.4 PEMEROLEHAN SEMANTIK PADA ANAK
Berbeda
dengan pemerolehan fonologi yang banyak dipengaruhi oleh aspek fisiologi,
pemerolehan makna lebih banyak ditentukan oleh kematangan gaya kognitif dan
lingkungan. Proses menuju ke kedewasaan menambah kemampuan untuk mengamati dan
menyerap fenomena alam sekitar, lingkungan memberikan bahan masukan untuk
mengelompokkan atau memilah-milah satu fenomena dari yang lain. Dengan dasar
seperti inilah anak sedikit demi sedikit memberikan makna bagi aktivitas,
keadaan, dan benda-benda disekitarnya (Dardjowidjojo, 1991 : 71-72).
2.4.1 Pengembangan Makna
Pengembangan makna pada anak-anak
mengikuti alur tertentu. Ada makna proporsional, yakni makna yang merujuk pada
pelaku pembuatan makna itu sendiri, hal atau orang yang terkena perbuatan,
lokasi, waktu, dan sebagainya. Dalam pertumbuhannya menyerap alam sekitar, anak
lama-lama menemukan adanya perbedaan-perbedaan kategori semantik seperti ini.
Alur ini adalah alur yang merujuk pada rasa ingin tahu, pertanyaan, perintah, penolakan
dan sebagainya. Makna seperti ini adalah makna yang pragmatik. Alur yang ketiga
adalah makna yang memang kodratnya ada pada masing-masing kata. Makna dalam
kategori ini sangatlah kompeks. Karena anak harus dapat menyerap dan membuat
hipotesis sendiri mengenai kemiripan ataupun perbedaan antara satu entitas
dengan entitas yang lain sering pula bersifat relatif.
Apabila ada pelaku yang melakukan
suatu terhadap suatu hal, anak harus dapat menyerap hubungan antara tiga elemen
ini, meskipun wujud ajarannya mungkin barulah satu patah kata. Lebih kompleks lagi adalah kata-kata rasional
yang mempunyai dimensi yang kontras, seperti besar versus kecil, tinggi versus
rendah, panjang versusu pendek, dan sebagainya.
2.4.2 Pemerolehan Nomina
Penguasaan
nomina pada anak ada dua pola yang saling bertentangan. Di satu pihak, anak
melakukan generalisasi makna menjadi overextention atau mencakup pengertian
yang lebih luas daripada semestinya. Dalam hal perluasan makna ini ada dua
pandangan yang menarik. Hipotesis fitur semantik yang diajukan oleh Eve de
Clark (di de villers, 1982 : 126)
menyatakan bahwa kita memiliki sekelompok fitur semantik, tetapi seorang anak
kecil hanya menguasai sebagian dari fitur-fitur ini.
Teori
lain ( Browman, 1977, di de Vilers dan de Vilers, 1982 :128) beranggapan bahwa
anak tidak memetik makna parsial, tetapi secara kompleksif. Anak tidak memandang salah satu atau beberapa
fitur semantik itu lebih relevan daripada yang lain. Anak pada umumnya memanfaatkan tangga yang di
tengah sebagai titik tolak. Oleh karena itu, pengertian-pengertian yang umumlah
yang pertama-tama (diberikan orang tua dan) dikuasai anak. Anak akan lebih
dahulu mengenal mama, papa, sebelum kakek, nenek, paman, ipar dan sebagainya.
Dengan kata lain, makna diciutkan ke arah suatu yang ada di tengah tangga
abstraksi.
2.4.3 Pemerolehan Verba dan Kategori Lain
Seperti
halnya nomina, verba pun diperoleh anak secara bertingkat dengan yang umum
dikuasai terlebih dahulu dan yang kompleks dikuasai kemudian. Umumnya verba dan
kategori lain seperti pronomina yang dikuasai awal adalah yang berkaitan dengan
kehidupan anak sehari-hari misalnya jatuh, pecah, habis, dan bentuk.
Pemerolehan lain seperti adjektif juga selaras dengan pemerolehan nomina atau
verba. Salah satu hal yang menarik dalam hal ini adalah bahwa umumnya adjetif
yang positif lah yang dikuasai terlebih dahulu. Seperti kita maklumi, banyak
adjektif yang yang memiliki polaritas positif dan negatif, misalnya besar
-kecil, tinggi - pendek, tebal – tipis, dan seterusnya. Dari ketiga contoh ini,
besar, tinggi, dan tebal merujuk pada pengertian yang positif. Tidak mustahil
bahwa dalam proses penguasaan secara sempurna si anak tersandung-sandung secara
semantik sehingga terjadilah kesimpangsiuran pengertian.
2.5 PEMEROLEHAN PRAGMATIK
Dalam
definisinya yang paling mendasar, pragmatik dapat dikatakan sebagai cabang ilmu
linguistik yang membahas penggunaan bahasa –The study of language use (Ninio
dan snoe, 1989:9, Verschueren. 1999:1
dalam Dardjowidjojo. 2009:1). Bahasa terdiri dari tiga komponen ini terkait
dengan unit analisis sendiri-sendiri. Pragmatik bukan memberikan prespektif
yang berbeda terhadap bahasa. Prespektif ini ditemukan pada tiap komponen.
Karena
pragmatik merupakan bagian dan prilaku berbahasa maka penelitian tentang
pemerolehan tidak mengamati, bagaimana anak mengembangkan kemampuan
pragmatiknya. Seperti disarankan oelh Nino dan Snow (1996:1), paling tidak kita
perlu mempelajari :
1) Pemerolehan
niat komunitatif (communicative intens) dan pengembangan ungkapan bahasanya.
2) Pengembangan
kemampuan bercakap-cakap dengan segala aturannya, dan
3) Pengembangan
piranti untuk membentuk wacana yang kohesif
2.5.1 Pemerolehan Niat Komunikatif
Dalam minggu-minggu pertama sesudah
lahir, anak mulai menunjukan niat komunikatifnya dengan antara lain tersenyum,
menoleh jika dipanggil, menggapai bila diberi sesuatu, memberikan sesuatu
kepada orang lain, dan kemudian main cilukba. Semua ini ada pada masa
pravokalisasi dan sering dirujuk dengan istilah Proto-deklaratif dan Proto-imperatif
karena memang dua bentuk ini lah yang muncul pada awal (Ninio dan Snow:47,
dalam Dardjowidjojo, 2004:44). Setelah perkembangan biologisnya memugkinkan
anak mulai mewujudkan niat komunikatif ini dalam bentuk bunyi. Ninio dan Snow
bahkan mendapati bahwa dalam mewujudkan urutan-urutannya yang ditandaskan pada
bagian kepentingan pragmatik seperti: kepentingan ujaran, peran kelayakan
ujaran, dan kompleksitas kognitif (Ninio dan Snow, 1996:104).
Kepentingan ujaran pada anak
bertitik tolak pada sudut pandang anak sehingga macam ujaran yang muncul juga
mencerminkan kepentingan diri.
2.5.2 Pengembangan Kemampuan Percakapan
Anak secara bertahap menguasai
aturan-aturan yang ternyata ada dan harus diikuti. Suatu percakapan mempunyai
tiga komponen: 1. Pembuka, 2. Giliran, 3. Penutup.
Dalam pembukaan harus ada ajakan
dan tanggapan –A mengajak dan B menanggapi. Dalam batang tubuh percakapan ada
aturan main yang harus diperhatikan, khususnya aturan yang berkaitan dengan
giliran berbicara (Clark dan Clark, 1997;227-232; Langford, 1994, Geis, 1998).
Aturan yang normal adalah 1. Giliran bicara berikutnya adalah ada pada orang
yang diajak bicara oleh pembaca, 2. Diliran bicara berikutnya lagi adalah pada
orang yang berbicara lebih dahulu, 3.
Giliran bicara berikutnya adalah pada pembicara, bila ternyata tidak ada orang
lain yang berbicara.
Meskipun
aturan (1-3) seperti dijabarkan di atas banyak dipakai orang, sifatnya tidak
dapat dikatakan universal karena tatakrama yang berlaku dalam masyarakat
berbeda-beda. Dalam masyarakat kita aturan mengenai giliran untuk berbicara
tampaknya dipengaruhi pula oleh tingkat pendidikan keluarga.
2.5.3 Pengembangan Piranti Wacana
Wacana untuk anak pada umumnya
berbentuk percakapan antara anak dengan orang dewasa atau anak dengan anak
meskipun dalam percakapan tersebut bila terdapat narasi, eksplanasi dan
definisi. Percakapan seperti ini dapat berjalan lancar karena tiga hal.
Pertama, pendengarnya adalah orang dekat seperti orang tua, kakak-adik, eyang
dan untuk banyak orang Indonesia, pembantu kedua pendengar memberikan dukungan
konversasional kepada anak. Tidak jarang dalam suatu percakapan dengan anak,
orang dewasa memberikan dukungan yang berupa kalimat memancing atau membimbing
kelanjutan pembicaraan. Ketiga hal yang dibicarakan umumnya berkaitan dengan
ihwal sini dan kini. Keberadaan dan kekongkreatn benda, serta rujukan pada
peristiwa yang sedang berlangsung memudahkan ank untuk berbicara,
Dalam perkembangan pragmatiknya,
anal perlu untuk lama kelamaan melepaskan diri dari ketergantungan itu sehingga
akhirnya dapat mewujudkan wacana tanpa harus ada bimbingan (clue) dari orang
dewasa.
BAB
III
KESIMPULAN
Bahasa memiliki keuniversalan dalam
bunyi-bunyi bahasa dan urutan pemerolehannya. Secara konseptual antara
pemerolehan bahasa atau perkembangan pemerolehan bahasa dengan perkembangan
bahasa adalah berbeda.
Dengan bangkitnya tata bahasa
transformasi generative pada akhir tahun 1950-an, maka para psikolog pun
mulailah memandang bahasa kanak-kanak maupun orang dewasa dengan cara baru.
Adanya penekanan dalam teori linguistik pada kaidah-kaidah dan struktur
sintaksis.
Pemerolehan makna lebih banyak
ditentukan oleh kematangan daya kognitif dan lingkungan. Proses menuju
kedewasaan menambah kemampuan untuk mengamati dan menyerap fenomena alam
sekitar.
Bahasa terdiri dari tiga komponen
dasar : Fonologi, Sintaksis (termasuk morfologi), dan Semantik. Masing-masing
komponen ini terkait dengan unit analisis sendiri-sendiri. Pragmatik bukan
memberikan perspektif yang berbeda terhadap bahasa. Perspektif ini ditemukan
pada tiap komponen. Pragmatik merupakan bagian dari perilaku berbahasa.
Rosidin, Odin. PSIKOLINGUISTIK.
Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik Kajian Teorerik.
Jakarta : Rineka Cipta.
kiriman seorang kawan tetanggga kelas
BalasHapus