Selasa, 04 Juni 2013

Analisis sistem tanda pada kebudayaan sunda


  • Tradisi Nyongcot (Bhs. Sunda) atau Tumpengan setelah Khatam Juz ‘Amma (DiTurus-Patia)

Kajian yang digunakan yaitu semiotika Roland Barthes secara kronologi tradisi ini dilakukan oleh para santri yang baru menamatkan juz ama dipondok Rumah. Sebagai E1 adalah tumpeng (Nasi) yang dihiasi aneka rempah seperti cabai,bawang putuh,dll serta lauk pauk biasanya seekor ayam yang dipanggang utuh dihiasi butiran telur ayam atau bebek disampingnnya dan dibuatkan semacam sarang sebagai hiasan telur dari sayuran seperti kol,kentang,seledri,dll, tidak lupa juga diatas tumpeng ditancapkan uang biasanya pecahan Rp. 100.000an, sebagai E2 ini merupakan sebuah tradisi yang turun temurun dalam sebuah keluarga / ucapan terimakasih kepada sang guru karena telah sanggup mengajari si anak/santri sampai tamat/khatam juz ‘amma. Sebagai R1 Hampir sama dengan E1 yaitu tumpeng yang indah dengan hiasan lauk pauk,sayuran,dan uang serta warna ke emasan pada tumpeng  yang dihasilkan dari rempah kunyit dan sebagai R2 ( terkognisi) yaitu pengakuan sudah mendapat ijazah kelulusan  dari tingkat dasar (juz ama) menuju tingkat tinggi artinya si anak sudah siap menggali ilmu al-qur’an seutuhnya tanpa ragu modal dasar ditinggalkan hal ini dapat juga terlihat dari bentuk tumpeng yaitu kerucut “dari hal-hal dasar menuju yang lebih spesifik atau pokok”. ( bentuk pengakuan dari masyarakat kalau si anak sudah khatam membaca ayat suci Al-Qur’an pada tingkat dasar sebagai modal ke tingkat lebih tinggi).
  •  Tradisi Mipit Pare (Panen Padi)

Kajian yang digunakan yaitu semiotika ferdinand de saussure, tradisi ini biasa dilakukan para petani didaerah pandeglang pada waktu menjelang panen padi.
Dalam mengkaji saussure ada dua hal yaitu penanda dan petanda, sebagai penanda yaitu dua rumpun padi yang diikat menggunakan bunga kepayang beureum diatasnya ada kemenyan yang dibakar (biasanya pakai jampi-jampi) sedangkan petandanya bahwa padi ini siap dipanen dan petani berkeyakinan bahwa akan mendapatkan hasil yang berlimpah ruah (padinya banyak yang berisi)
Atau kajian semiotika Roland Barthes, Sebagai E1 yaitu dua rumpun padi yang dipilih dan terlihat paling matang untuk dipanen, daun dan bunga kepayang beureum serta kemenyan yang dibakar, sebagai E2 yaitu padi siap untuk dipanen, sebagai R1 yaitu hampir sama dengan E1 yaitu rumpun padi yang diikat oleh bunga kepayang beureum dan diselipkan daunnya serta kemenyan yang dibakar diantara himpitan daun kepayang beureum, sebagai R2 yaitu (Terkognisi) bentuk kepercayaan bahwa padi akan semakin berisi setelah kemenyan dibakar, bentuk penghormatan kepada Dewi Sri, Dan mungkin ini bentuk syukur pada nenek moyang yang memiliki tanah sawah terdahulu (dan masih banyak lagi kemungkinan yang terkognisi di alam pikir interpretan selain yang saya tulis).
Sedangkan biasanya beberapa “abah” menggunakan jangjawokan sejenis mantra sunda sebagai pengiring pembakaran kemenyan, salah satunya yaitu :
Mangga Nyi Pohaci ( dewi sri)
Nyimas Alame Nyimas Mulane (pemilik alam pemilik semesta)
Geura ngalih ka gedong
manik ratna inten
Abdi ngiringan Ashadu sahadat panata,
panetep gama)
Iku kang
jumeneng lohelapi Kang ana teleking ati
Kang ana lojering Allah, Kang ana madep maring
Allah
Iku wuju salamaet ing dunya,
Salamet ing akherat
Asahadu anla ila haileloh Wa ashadu anna
Muhammaddarrasolullah
Abdi seja babakti kanu sakti,
agung tapa
Nyanggakeun
sangu putih sapulukan
Kukus kuning purba herang,
Tuduh kang seseda tuhu
Datang ka sang seda herang
Tepi ka kang seda sakti
Nu sakti neda kasakten,
Neda deugdeugan tanjeuran
Secara makna harfiah ajimantra di atas menggambarkan sebuah penyerahan terhadap sang pencipta atas segala kenikmatan alam yang didapat dari Nya serta pengaharapn atas keinginan lebih dari yang lebih didapat sekarang (saya hanya bisa menterjemahkan sebagian karna ajimantra ini merupakan bahasa sunda wiwitan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar