Senin, 22 Oktober 2012

diksi dan gaya bahasa


Gaya Dan Wacana

“Diajukan sebagai tugas mata kuliah stilistika”

Description: D:\koleksi\GAMBAR\walpaper\LOGO-LOGO\LOGO UNTIRTA BARU\FKIP WARNA BARU.jpg














Oleh:
©  DESI RATNASARI.S           : 2222101414
©  TITI NURINDAH YATI       : 2222101509
©  IIP PIRDAUS                        : 2222100094
KELAS                                       :  V B

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PEDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS  KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2012
PENDAHULUAN
o       Mengenal Stilistika
Stilistika berasal dari Bahasa Inggris yaitu “Style” yang berarti gaya dan dari bahasa serapan “linguistik” yang berarti tata bahasa. Stilistika menurut kamus Bahasa Indonesia yaitu Ilmu Kebahasaan yang mempelajari gaya bahasa. Sedangkan menurut C. Bally, Jakobson, Leech, Widdowson, Levin, Ching, Chatman, C Dalan, dan lain-lain menentukan stilistika sebagai suatu deskripsi linguistik dari bahasa yang digunakan dalam teks sastra.
Dalam konteks yang lebih luas, bahkan Jakobson dalam Amminuddin (1995::21) beranggapan bahwa poetiks (puitika) sebagai teori tentang system dan kaidah teks sastra sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Linguistik. Bagi jakobson Poetics deals with problem of verbal structure, just as he analysis of painting is concered with pictorial structure since linguistics is the global science of verbal structur, poetics may be regarded as an integral of linguistic.
Stilistika adalah mana lain dari istilah “gaya bahasa”. Lebih khusus lagi, gaya bahasa yang dimaksud adalah penggunaan bahasa dalam karya sastra. Pengertian ini dipertentangkan dengan penggunaan bahasa biasa diluar karya sastra. Penggunaan bahasa diluar karya sastra (Atmazaki, 1990:93)dikenal dengan antara lain: gaya bahasa Koran, gaya bahasa formal, gaya bahasa keilmuan, gaya bahasa pejabat, gaya bahasa humor, gaya bahasa percakapan, dan lain sebagainya.
Berbeda dengan wawasan di atas, Chvatik (Aminuddin :1995 :22) mengemukakan Stilistika sebagai kajian yang menyikapi bahasa dalam teks sastra sebagai kode estetik dengan kajian stilistik yang menyikapi bahasa dalam teks sastra sebagaimana bahasa menjadi objek kajian linguistik. Sedangkan menurut Rene Wellek dan Austin Warren (1990 : 221).Stilistika perhatian utamanya adalah kontras system bahasa pada zamannya.
Bertolak dari berbagai pengertian di atas, Aminuddin (1995:46) mengartikan stilistika sebagai studi tentang cara pengarang dalam menggunakan system tanda sejalan dengan gagasan yang ingin disampaikan dari kompleksitas dan kekayaan unsur pembentuk itu yang dijadikan sasaran kajian hanya pada wujud penggunaan system tandanya. Walaupun fokusnya hanya pada wujud system tanda untuk memperoleh pemahaman tentang ciri penggunaan system tanda bila dihubungkan dengan cara pengarang dalam menyampaikan gagasan pengkaji perlu juga memahami (i) gambaran obyek/peristiwa, (ii) gagasan, (iii) ideologi yang terkandung dalam karya sastranya.
Kajian Stilistika merupakan bentuk kajian yang menggunakan pendekatan obyektif. Dinyatakan demikian karena ditinjau dari sasaran kajian dan penjelasan yang dibuahkan, kajian stilistika merupakan kajian yang berfokus pada wujud penggunaan system tanda dalam karya sastra yang diperoleh secara rasional-empirik dapat dipertanggung jawabkan. Landasan empiric merujuk pada kesesuian landasan konseptual dengan cara kerja yang digunakan bila dihubungkan dengan karakteristik fakta yang dijadikan sasaran kajian.
Pada apresiasi sastra, analisis kajian stilistika digunakan untuk memudahkan menikmati,memahami,dan menghayati system tanda yang digunakan dalam karya sastra yang berfungsi untuk mengetahui ungkapan ekspresif yang ingin diungkapkan oleh pengarang.
Dari penjelasan selintas di atas dapat ditarik kesimpulan tentang analisis yang dilakukan apresiasi sastra meliputi (a) analisis tanda baca yang digunakan pengarang, (b) analisis hubungan antara system tanda yang satu dengan yang lainnya, (c) analisis kemungkinan terjemahan satuan tanda yang ditentukan serta kemungkinan bentuk ekspresi yang dikandungnya. Kaitannya dengan kritik sastra, kajian stilistika digunakan sebagai metode untuk menghindari kritik sastra yang bersifat impesionistis dan subyektif. Melalui kajian stilistika (Aminuddin :1995 : 42).diharapkan dapat memperoleh hasil yang memenuhi kriteria obyektifitas dan keilmiahan.



1.      GAYA SEBAGAI PENYIMPANGAN
Dalam menulis karya sastra banyak penulis beranggapan bahwa dalam menulis karya sastra ia harus mengeluarkan gejolak perasaan yang demikian kuat bergolak. Dalam hubungan ini, para penulis juga menganggap bahwa gejolak perasaan itu adalah sesuatu hal yang mesti dikeluarkan sehingga orang lain juga akan merasakan perasaan tersebut. Agar gejolak perasaan yang dirasakan penulis sampai pada pembaca maka penulis sering menggunakan bahasa yang melanggar aturan tatabahasa. Menurut pandangan Linguistik, persoalan penyimpangan bahasa dipindahkan pada persoalan keistimewaan bahasa dalam karya sastra, hal yang biasanya dianggap tidak dipunyai oleh pemakai bbahasa lainnya.
Pesoalan gaya bahasa sebagai penyimpangan juga dapat dilihat dalam hubungan pertemuan dua sistem, sistem yang dimaksud adalah sistem bahasa dan sistem puisi. Dalam melihat satu gaya sebagai pertemuan dua sistem, yang berbeda dan bertentangan, maka kita mesti dapat mengetahui kedua-dua sistem muncul sebagai akibat pertemuan berbagai-bagai sitem ini. Dengan begitu, penyimpangan bahasa tidak perlu dihubungkan dengan sesuatu yang menyalahi tatabahasa. Kalau kita masih ingin melihat gaya dalam rangka penyimpangan, maka ia mesti dilihat dalam pengertian pemakaian bahasa yang ada pada karya sebelumnya.
Selain itu pula kita akan melihat bagaimana para sastrawan menggunakan banyak kata yang masih misterius bahkan dianggap Penggunaan bahasanya”aneh, tidak wajar, dan asing yang padahal itu merupakan ciri utama sastra dengan penyimpangan tadi.  Puisi Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan Sutarji Calzoum Bachri, misalnya, dianggap karya sastra karena menunjukkan penggunaan bahasa yang segar –-antara lain sebagai akibat dari “perusakan” bahasa. Bahasa yang mereka pergunakan itu relatif mudah dibedakan dari bahasa yang kita pakai sehari-hari maupun dalam karangan jenis lain seperti berita, skripsi, dan laporan penelitian. Setidaknya kita boleh mengatakan bahwa bahasa sastra cenderung metaforis, sedangkan bahasa skripsi dituntut untuk menghindari metafor agar pengertian yang disampaikannya tidak bermakna ganda. Dalam percakapan biasa di kedai kopi atau di kamar tamu, orang tentu akan terheran-heran seandainya kita tiba-tiba mengucapkan “Habis kikis/Segala cintaku hilang terbang”, meskipun mungkin bahasa yang dipergunakan Amir Hamzah dalam sajak itu belum begitu “rusak” jika dibandingkan dengan karya Sutardji Calzoum Bachri dalam kumpulan sajak O.
Jika penyimpangan bahasa merupakan sarat utama sastra, masalah lain akan muncul yakni kita juga menerima graffiti --yakni ungkapan atau kalimat atau kata yang sering dicoretkan di dinding–dinding kamar mandi umum dan tembok-tembok sekolah-- sebagai karya sastra. Iklan pun harus diterima sebagai karya sastra, sebab ditulis dalam bahasa yang tidak jarang “menyimpang” dan memberi kesan yang mendalam. Bahkan jika kita menyinggung orisinalitas pemakaian bahasa sebagai nilai utama dalam sastra, tentu ada graffiti atau iklan yang melampaui puisi karya Rendra atau Gunawan Mohammad. Bahkan dalam perkembangan puisi kita, beberapa penyair yang menyadari pentingnya cara pengucapan telah menciptakan puisi kongkrit dan puisi mbeling, dua subgenre yang tidak jarang hasil-hasilnya sulit diterima sebagai karya sastra –sebab antara lain memberi kesan main-main atau tidak mempergunakan bahasa sebagai mediumnya.
Perhatian pada pengucapan sastra yang dibedakan dari bahasa sehari-hari menyulitkan kita juga dalam menghadapi bahasa yang diperlukan dalam novel. Tentu hanya sangat sedikit novelis yang tujuannya hanya “merusak” bahasa, bahkan tidak bisa dikatakan bahwa sebagian besar bahasa dalam novel itu metaforis. Bahkan lagi, sebenarnya kesulitan itu bisa muncul dalam bahasa puisi; hanya kesepakatan diantara kita saja yang menganggap baris-baris berikut ini adalah sebuah sajak: “Selama ini kita selalu / ragu-ragu / /dan berkata: / Dua tambah dua / mudah-mudahan sama dengan empat”. Rangkaian kata itu adalah sajak Taufiq Ismail yang berjudul ”Aritmetik Sederhana”
Persoalan dan kesulitan itu tentu tidak usah membuat kita menyerah dengan mengatakan bahwa tidak ada batasan yang pasti untuk sastra. Kita bisa mengikluti usul yang menyatakan bahwa sastra adalah segala sesuatu yang dalam masyarakat tertentu pada masa tertentu dianggap sebagai sastra. Pandangan ini dilandasi kenyataan bahwa sastra bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, terpisah dari masyarakat yang melahirkan dan menikmatinya. Sastra mempunyai kedudukan, peran, dan kegunaan dalam masyarakat --dan itu semua senantiasa mengalami pergeseran dari waktu ke waktu dan perbedaan antara satu masyarakat dengan masyarakat lain. Bagi masyarakat tertentu di Jawa pada abad lampau misalnya, yang dinamakan sasrtra adalah karya seperti ditulis oleh Ronggo Warsito, yakni yang sangat terikat pada kaidah penulisan dan mengandung nilai pendidikan serta gagasan luhur. Sampai dengan tahun 50-an, masih banyak budayawan jawa yang merendahkan cerita pendek dan puisi modern jawa sebagai karangan yang tak karuan bahasanya dan tidak mendidik, oleh karenanya tidak bisa dianggap sebagai sastra. Sebaliknya sekarang tentunya sebagian sastrawan muda jawa beranggapan tembang yang tidak jarang disisipkan dalam penyebar semangat atau  Joyoboyo sebagi hasil ketrampilan saja, dan bukan sastra.
Mungkin sekali sekarang ini kita beranggapan bahwa sastra tidak harus mendidik, menghibur saja pun boleh, bahkan main-main pun diperkenankan. Tentu tidak bisa dikatakan bahwa pada zaman dahulu tidak ada yang menghibur atau main-main dengan bahasa tetapi sangat mungkin hasilnya tidak dianggap sebagai sastra.

2.      GAYA SEBAGAI PILIHAN KEMUNGKINAN
Menurut Junus (1989:57) gaya melibatkan pilihan. Tanpa pilihan tidak mungkin ada gaya. Sebelum masuk kepada persoalan gaya yang berhubungan dengan pilihan ini, ada dua persoalan yang mesti diselesaikan dulu, yaitu hakikat variasi dan persoalan yang menyangkut petanda dan penanda. Variasi adalah bentuk yang tidak seragam atau berbeda-beda, kelainan atau kepelbagaian dalam bentuk, reka cipta, pilihan diksi, dan pilihan dialek. Setiap orang punya semacam pengertian kalau istilah variasi diucapkan. Begitu juga halnya kalau diucapkan dalam hubungan unsur bahasa.
Variasi akan dilihat sebagai unsur bahasa yang dapat dipilih tanpa mengubah arti. Dengan begitu, pada tahap dasar, dengan mudah orang akan menerima gaya sebagai pemilihan daripada pelbagai variasi
Persoalan pilihan ada hubungan dengan persoalan variasi dalam pembicaraan linguistik. Ada berbagai-bagai takrifan variasi, iaitu berhubungan dengan beberapa bentuk yang dianggap tidak berbeda arti, suatu bentuk yang hanya dipakai dalam posisi tertentu (variasi terikat), variasi bebas, perbedaan dialek, dan perbedaan masa. Selain itu, gaya sebagai pilihan biasanya dihubungkan dengan faktor keindahan sesuai dengan prinsip estetik. Persoalan gaya sebagai pilihan kemungkinan akan lebih terlihat apabila dilihat dalam hubungan dengan petanda dan penanda. Dengan mengatakan gaya sebagai pilihan, maka sesuatu pemikiran dapat dinyatakan dalam beberapa ucapan yang tidak berbeda arti. Dalam hubungan stilistik, perbedaan dikatakan hanya perbedaan gaya, dan ini berhubungan dengan keindahan yang juga berhubungan dengan estetik.
Tidak ada variasi tanpa perubahan atau perbedaan arti. Di sinilah muncul persoalan  tentang hubungan antara penanda dan petanda. Sebuah petanda dapat diucapkan dengan beberapa penanda. Petanda merupakan rujukan bagi penanda. Misalnya kata ‘aku’ dan ‘saya’ merupakan rujukan kata ganti orang pertama. Kata ganti orang pertama disebut sebagai petanda sedangkan kata ‘aku’ dan ‘saya’ disebut sebagai penanda. Gaya pilihan kemungkinan, sangat dekat hubungannya dengan penulis. Dalam hal memilih kata rujukan orang pertama (petanda) sahaja penulis akan melibatkan pelbagai penanda yang ada. Kemungkinan pemilihan penanda tertentu telah menunjukkan gaya penulis.
Gaya sebagai pilihan kemungkinan dalam stilstik memberi peranan penting pada persoalan makna dan pemaknaan. Stilistik lebih mengeksploit berbagai-bagai kemungkinan arti, sesuatu yang mungkin tidak terfikir sebelumnya. Dalam pengungkapan peristiwa erotis.
Pemilihan leksikal tertentu untuk mewujudkan peristiwa erotis pula menjadi hak penulis yang akan mewakili gaya penulis tersebut. Jika penulis memilih kata-kata kiasan untuk mengungkapkan unsur erotis, itulah gaya penulis tersebut. Selain itu, pemilihan leksikal yang berunsur erotis bersifat material ataupun mental juga mewakili gaya sebagai pilihan kemungkinan. Gaya sebagai pilihan kemungkinan juga berhubungan dengan gaya sebagai serangkaian ciri peribadi kerana penulis memilih leksikal tertentu merupakan gaya penulis itu dan menunjukkan ciri penulis tersebut.
Menurut Umar Junus (1989) gaya merupakan serangkaian ciri peribadi. Hal ini bererti gaya adalah orang atau penulis itu sendiri. Tambah beliau lagi pengertian gaya ini boleh dihubungkan dengan pengertian populer. Dalam kehidupan, kita mungkin dapat mereka siapa yang berada di depan kita hanya dengan memperhatikan bagaimana ia melenggang, selagi kita memang kenal dengan lenggang orang itu. Ada ciri peribadi dengan lenggang seseorang dan kemudian kita letakkan kepada orang itu. Kita seakan beranggapan bahawa orang lain tidak mungkin berlenggang seperti itu, kecuali menirunya. Dengan mengatakan ‘gaya sebagai serangkaian ciri peribadi’ maka dalam pemakaian bahasa seseorang, ada sesuatu yang dianggap milik peribadi penulisnya. Dapat dikatakan bahawa gaya penulis itu khas dan tidak boleh dimiliki oleh penulis lain. Dalam kita membicarakan tentang ‘gaya sebagai serangkaian ciri peribadi’, kita mungkin menghubungkan dengan pengertian yang ada pada ‘gaya peribadi’, yang membawa kita berfikir kepada ‘gaya sosial’ atau ‘gaya kumpulan’.
Persoalan yang timbul adalah dalam usaha menentukan ciri peribadi gaya seseorang. Perbezaan karya dua orang penulis seperti Iwan Simatupang Dan Amir Hamzah, akan menimbulkan gaya yang berbeda dalam mengungkapkan peristiwa erotis kerana dua penulis ini mempunyai ciri peribadi masing-masing. Perbedaan ciri peribadi kedua-dua penulis ini, akan terlihat daripada leksikal-leksikal yang mengandungi unsur erotis yang mereka pilih.






3. GAYA DAN WACANA
PENGERTIAN GAYA BAHASA
Stile (style atau gaya bahasa) (Keraf, 1994: 113) adalah cara pengungkapan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian pengarang. Stile pada hakekatnya merupakan teknik yakni teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan disampaikan atau diungkapkan.
Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lapisan lilin. Keahlian untuk menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian untuk menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah.
            Karena perkembangan itu, gaya bahasa atau style menjadi masalah atau bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa atau klausa tertentu untuk menghadapi situasi tertentu. Sebab itu, persoalan gaya bahasa meliputi semua hirarki kebahasaan: pilihan kata secara individual, frasa, klausa, dan kalimat, bahkan mencakup juga sebuah wacana secara keseluruhan. Malahan nada yang tersirat di balik sebuah wacana termasuk pula persoalan gaya bahasa. Jadi jangkauan gaya bahasa sebenarnya sangat luas, tidak hanya mencakup unsur-unsur kalimat yang mengandung corak-corak tertentu, seperti yang umum terdapat dalam retorika-retorika klasik.
            Walaupun kata style berasal dari bahasa Latin, orang Yunani sudah  mengembangkan sendiri teori mengenai style. Ada dua aliran yang terkenal, yaitu:
(a)    Aliran Platonik: menganggap style sebagaikualitas suatu ungkapan; menurut mereka ada ungkapan yang memiliki style, ada juga yang tidak memiliki style.
(b)   Aliran Aristoteles; menganggap bahwa gaya adalah suatu kualitas yang inheren, yang ada dalam tiap ungkapan.
Dengan demikian, aliran plato mengatakan bahwa ada karya yang memiliki gaya dan ada karya yang sama sekali tidak memiliki gaya. Sebaliknya, aliran aristoteles mengatakan bahwa semua karya memiliki gaya yang tinggi ada yang rendah, ada karya yang memiliki gaya yang kuat ada yang lemah, ada yang memiliki gaya yang baik ada yang memiliki gaya yang jelek.
Bila kita melihat gaya secara umum, kita dapat mengatakan bahwa gaya adalah cara mengungkapkan diri sendiri, entah melalui bahasa, tingkah laku, berpakaian, dan sebagainya. Dengan menerima pengertian ini, maka kita dapat mengatakan, “Cara berpakaiannya menarik perhatian orang banyak”, “Gaya menulisnya lain daripada kebanyakan orang”, yang memang sama artinya dengan “gaya berpakaian”, “gaya menulis”, dan “gaya berjalan”. Dilihat dari segi bahasa,  gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa. Gaya bahasa memungkinkan kita dapat menilai pribadi. Semakin baik gaya bahasanya, semakin baik pula penilaian orang terhadapnya; semakin buruk gaya bahasa seseorang, semakin buruk pula penilaian yang diberikan padanya.
Akhirnya style atau gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).
Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur Kalimat
Di bawah ini disampaikan pengertian dari jenis-jenis gaya bahasa di atas yang dirumuskan secara bebas oleh peneliti berdasarkan pemahaman yang penulis peroleh dari berbagai sumber, “Diksi dan Gaya Bahasa” karya Gorys keraf, juga karya Henry Guntur Tarigan, Rahmat Joko Pradopo dan dijumpai di segenap buku yang membicarakan gaya bahasa.
1. Klimaks, yang disebut juga gradasi, adalah gaya bahsa berupa ekspresi dan pernyataan dalam rincian yang secara periodek makn lama makin meningkat, baik kuantitas, kualitas, intensitas, nilainya.
Contoh:
a)    Idealnya setiap anak Indonesia pernah menempuh pendidikan formal di TK, SD, SMP, SMA/SMK, syukur S2, S3 sampai gelar Doktor dan kalau mengajar di Perguruan Tinggi bergelar Profesor/Guru Besar pula.
b)   Dalam apresiasi sastra, mula-mula kita hanya membaca selayang pandang puisi yang akan kita apresiasi, lalu kita membaca berulang-ulang sampai paham maksudnya, merasakan keindahannya, terus mengkajidalami, bisa membawakannya penuh penghayatan, sampai kita mampu menghargai keberadaan dan mencintainnya, syukur juga terpangil untuk kreatif menciptakan bentuk-bentuk sastra.

2. Antiklimaks 
merupakan antonim dari klimaks adalah gaya bahasa berupa kalimat terstruktur dan isinya mengalami penurunan kualitas, kuantitas intensitas. Gaya bahasa ini di mulai dari puncak makin lama makin ke bawah.
Contoh:
a)    Bagi milyader bakhlil, jangankan menyumbang jutaan rupiah, seratus ribu, lima puluh ribu, sepuluh ribu, seribu rupiah pun ia enggan, masih dihitung-hitung.
b)   Jauh sebelum memperoleh mendali emas dalam Olimpiade Athena 2004 cabang bulutangkis, Taufik Hidayat niscaya telah menjadi juara nasional dan sebelumnya juga tingkat propinsi, kabupaten, malahan pula tingkat kecamatan, desa, RT/RW.

3. Paralelisme 
adalah gaya bahasa berupa penyejajaran antara frase-frase yang menduduki fungsi yang sama. Contoh: 
Kriminalitas dan kemaksiatan itu akan menyengsarakan banyakmorang, membuat menderita kurban-kurbannya.

4. Antitesis 
adalah gaya bahsa yang menghadirkasn kelompok-kelompok kata yang berlawanan maksudnya. Contoh:
Kau yang berjani kau pula yang mengingkari
Kau yang mulai kau pula yang mangakhiri
Di timur matahari terbit dan di barat ia tengggelam

5. Repetisi adalah gaya bahasa dengan jalan mengulanmg pengunaan kata atau kelompok kata tertentu. Contoh:
o      Seumpama eidelwis akulah cinta abadi yang tidak akan pernah layu
o      Seumpama merpati akulah kesetiaan yang tidak pernah ingkar janji
o      Seumpama embun akulah kesejukan yang membasuh hati yang lara
o      Seumpama samudra akulah kesabaran yang menampung keluh kesah segala muara

 

Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna (Teori Tradisional)

Gaya bahasa berdasarkan makna diukur dan langsung tidaknya makna, yaitu apakah acuan yang dipakai masih mempertahankan makna denotatifnya atau sudah ada penyimpangan. Bila acuan yang digunakan itu masih mempertahankan makna dasar, maka bahasa itu masih bersifat polos. Tetapi bila sudah ada perubahan makna, entah berupa makna konotatif atau sudah menyimpang jauh dan makna denotatifnya, maka acuan itu dianggap sudah memiliki gaya sebagai yang dimaksudkan di sini.
Gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna ini biasanya disebut sebagai trope atau figure of speeeh. Istilahtrope sebenarnya berarti “pembalikan” atau “penyimpangan”. Kata trope lebih dulu populer sampai dengan abad XVIII. Karena ekses yang tenjadi sebelumnya, trope dianggap sebagai penggunaan bahasa yang indah dan menyesatkan. Sebab itu, pada abad XVIII istilah itu mulai diganti dengan figure of speeeh.Terlepas dari konotasi kedua istilah itu, kita dapat mempergunakan kedua istilah itu dengan pengertian yang sama, yaitu suatu penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif dan bahasa biasa, entah dalam (1) ejaan, (2) pembentukan kata, (3) konstruksi (kalimat, klausa, frasa), atau (4) aplikasi sebuah istilah, untuk memperoleh kejelasan, penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek yang lain. Trope atau figure of speeeh dengan demikian memiliki bermacam-macam fungsi: menjelaskan, memperkuat, menghidupkan obyek mati, menstimulasi asosiasi, menimbulkan gelak ketawa, atau untuk hiasan.
Gaya bahasa yang disebut trope atau figure of speeeh dalam uraian ini dibagi atas dua kelompok, yaitu gaya bahasa retoris, yang semata-mata merupakan penyimpangan dan konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu, dan gaya bahasa kiasan yang merupakan penyimpangan yang lebih jauh, khususnya dalam bidang makna. Macam-macam gaya bahasa retoris seperti yang dimaksud di atas adalah:
a.  Aliterasi
Aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Biasanya dipergunakan dalam puisi, kadangkadang dalam prosa, untuk perhiasan atau untuk penekanan. Misalnya:
Takut titik lalu tumpah.
Keras-keras kerak kena air lembut juga.

b.  Asonansi
Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama. Biasanya dipergunakan dalam puisi, kadang-kadang juga dalam prosa untuk memperoleh efek penekanan atau sekadar keindahan. Misalnya:
Ini muka penuh luka siapa punya.
Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu.

c.  Anastrof
Anastrof atau inversi adalah semacam gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata yang biasa dalam kalimat.
Pergilah ia meninggalkan kami, keheranan kami melihat perangainya. Bersorak-sorak orang di tepi jalan memukul bermacam-macam bunyi-bunyian melalui gerbang dihiasi bunga dan panji berkibar.

d.  Apofasis atau Preterisio
Apofasis atau disebut juga preterisio merupakan sebuah gaya di mana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenamya ia menekankan hal itu. Berpura-pura melindungi atau menyembunyikan sesuatu, tetapi sebenamya memamerkannya. Misalnya:
Jika saya tidak menyadari reputasimu dalam kejujuran, maka sebenartya saya ingin mengatakan bahwa anda pasti membiarkan anda menipu diri sendiri.
Saya tidak mau mengungkapkan dalam forum ini hahwa saudara .telah menggelapkan ratusan juta rupiah uang negara.

e.   Apostrof
Adalah semacam gaya yang berbentuk pengalihan amanat dan para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Cara ini biasanya dipergunakan oleh orator klasik. Dalam pidato yang disampaikan kepada suatu massa, sang orator secara tiba-tiba mengarahkan pembicaraannya langsung kepada sesuatu yang tidak hadir: kepada mereka yang sudah meninggal, atau kepada barang atau obyek khayalan atau sesuatu yang abstrak, sehingga tampaknya ia tidak berbicara kepada para hadirin.
Hai kamu dewa-dewa yang berada di surga, datanglah dan bebaskanlah kami dan belenggu penindasan ini.
Hai kamu semuna yang telah menumpahkan darahmu untuk tanah air tercinta ini berilah agar kami dapat mengenyam keadilan dan kemerdekaan seperti yang pernah kamu perjuangkan.

f.  Asindeton
Adalah suatu gaya yang berupa acuan, yang bersifat padat dan mampat di mana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Bentuk-bentuk itu biasanya dipisahkan saja dengan koma, seperti ueapan terkenal dan Julius Eaesar: Vini, vidi, vici, “saya datang, saya lihat, saya menang”. Perhatikan pula contoh berikut:
Materi pengalaman diaduk-aduk, modus eksistensi dan cogito ergo sum dicoba, medium bahasa dieksploitmr, imaji-imaji, metode, prosedur dungkir batik, .masih itu-itu juga.
Dan kesesakan, kepedihan, kesakitan, seribu derita detik-detik penghabisan orang melepaskan nyawa.

g.  Polisindeton
Polisindeton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan dan asindeton. Beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata-kata sambung.
Dan kemanakah burung-burung yang gelisah dan tak berumah dan tak menyerah pada gelap dan dirigin yang bakal merontokkan bulu-bulunya?

h.  Kiasmus
Kiasmus (chiasmus) adalah semacam acuan atau gaya bahasa yang terdiri dan dua bagian, baik frasa atau klausa, yang sifatnya berimbang, dan dipertentangkan satu sama lain, tetapi susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya.
Semua kesabaran kami sudah hilang, lenyap sudah ketekunan kami untuk melanjutkan usaha itu.

i.   Elipsis
Elipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau pendengar, sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang berlaku.
Masihkah kau tidak percaya bahwa dan segi fisik engkau tak apa-apa, badanmu sehat; tetapi psikis…
Bila bagian yang dihilangkan itu berada di tengah-tengah kalimat disebut anakoluton, misalnya:
Jika anda gagal melaksanakan tugasmu.…tetapi baiklah kita tidak membicarakan hal itu.
Bila pemutusan di tengah-tengah kalimat itu dimaksudkan untuk menyatakan secara tak langsung suatu peringatan atau karena suatu emosi yang kuat, maka disebut aposiopesis.

j.  Eufemismus
Kata eufeinisme atau eufeinismus diturunkan dan kata Yunani euphemizein yang berarti “mempergunakan kata-kata dengan arti yang baik atau dengan tujuan yang baik”. Sebagai gaya bahasa, eufemisme adalah semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan yang halus untuk menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan.
Ayahya sudah tak ada di tengah-tengah mereka (mati).
Pikiran sehatnya semakin merosot saja akhir-akhir ini (gila).
Anak saudara memang tidak terlalu cepat mengikuli pelajaran seperti anak-anak lainnya (bodoh).

k. Litotes
Adalah semacam gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri. Sesuatu hal diriyatakan kurang dan keadaan sebenamya. Atau suatu pikiran diriyatakan dengan menyangkal lawan katanya.
Kedudukan saya ini tidak ada artinya sama sekali.
Saya tidak akan merasa bahagia bila men dapat warisan satu inilyar rupiah. Apa yang kami hadiahkan ini sebenamya tidak ada artinya sama sekali bagimu.
Rumah yang buruk inilahyang merupakan hasil usaha kami bertahun-tahun lamanya.

l.  Histeron Proteron
Adalah semacam gaya bahasa yang merupakan kebalikan dan sesuatu yang logis atau kebalikan dan sesuatu yang wajar, misalnya menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada awal peristiwa. Juga disebut hiperbaton.
Saudara-saudara, sudah lama terbukti bahwa Anda sekalian tidak lebih baik
sedikit pun dan para pesuruh, hal itu tampak dan anggapan yang berkembang akhir-akhir ini.
Jendela ini telah memberi sebuah kamar padamu untuk dapat berteduh dengan tenang.
Kereta melaju dengan cepat di depan kuda yang menariknya. Bila ia sudah berhasil mendaki karang terjal itu, sampailah ia di tepi pantai yang luas dengan pasirnya yang putih.

m. Pleonasme dan Tautologi
Pada dasamya pleonasme dan tautologi adalah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan satu pikiran atau gagasan. Walaupun secara praktis kedua istilah itu disamakan saja, namun ada yang ingin membedakan keduanya. Suatu acuan disebut pleonasme bila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh. Sebaliknya, acuan itu disebut tautologi kalau kata yang berlebihan itu sebenamya mengandung perulangan dan sebuah kata yang lain. Misalnya:
Saja telah mendengar hal itu dengan telinga saja sendiri.
Saya telah melihat kejadian itu dengan mata kepala saya sendiri. Darah yang merah itu melumuri seluruh tubuhnya.

n.   Perifrasis
Sebenamya perifrasis adalah gaya yang mirip dengan pleonasme, yaitu mempergunakan kata lebih banyak dan yang diperlukan. Perbedaannya terletak dalam hal bahwa kata-kata yang berkelebihan itu sebenamya dapat diganti dengan satu kata saja.’ Misalnya:
Ia telah beristirahat dengan damai (mati, atau meninggal). Jawaban bagi perinintaan Saudara adalah tidak (ditolak).

o.   Prolepsis atau Antisipasi
Prolepsis atau antisipasi adalah semacam gaya bahasa di mana orang mempergunakan lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa atau gagasan yang sebenarnya terjadi. Misalnya dalam mendeskripsikan peristiwa kecelakaan dengan pesawat terbang, sebelum sampai kepada peristiwa kecelakaan itu sendiri, penulis sudah mempergunakan kata pesawat yang sial itu. Padahal kesialan baru terjadi kemudian. Perhatikan pula kalimat-kalimat berikut yang mengandung gaya prolepsis atau antisipasi itu:
Almarhum Pardi pada waktu itu menyatakan bahwa ia tidak mengenal orang itu.
Kedua orang itu bersama calon pembunuhnya segera meninggalkan tempat itu.
Pada pagi yang naas itu, ia mengendarai sebuah sedan biru.

p.   Erotesis atau Pertanyaan Retoris
Erotesis atau pertanyaan retoris adalah semacam pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Gaya ini biasanya dipergunakan sebagai salah satu alat yang efektif oleh para orator. Dalam pertanyaan retoris terdapat asumsi bahwa hanya ada satu jawaban yang mungkin.
Terlalu banyak komisi dan perantara yang masing-masing menghendaki pula imbalan jasa. Herankah Saudara kalau harga-harga itu terlalu tinggi? Apakah saya menjadi wali kakak saya?
Rakyatkah yang harus menanggung akibat semua korupsi dan manipulasi di negara ini?

q.   Silepsis dan Zeugma
Silepsis dan zeugma adalah gaya di mana orang mempergunakan dua konstruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang sebenamya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama. Dalam silepsis, konstruksi yang dipergunakan itu secara gramatikal benar, tetapi secara semantik tidak benar.
Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya.
Fungsi dan sikap bahasa.
Konstruksi yang lengkap adalah kehilangan topi dan kehilangan semangat, yang satu memiliki makna denotasional, yang lain memiliki makna kiasan; demikian juga ada konstruksi fungsi bahasa dan sikap bahasa namun makna gramatikanya berbeda, yang satu berarti “fungsi dan bahasa” dan yang lain “sikap terhadap bahasa”.

r.  Koreksio atau Epanortosis
Koreksio atau epanorlosis adalah suatu gaya yang berwujud, mula-mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya.
Sudah empat kali saya mengunjungi daerah itu, ah bukan, sudah lima kali.

s.  Hiperbol
Adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pemyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal.
Kemarahanku sudah menjadi-jadi hingga hampir-hampir meledak aku. Jika kau terlambat sedikit saja, pasti kau tidak akan diterima lagi.
Prajurit itu masih tetap berjuang dan sama sekali tidak tahu bahwa ia sudah mati.

t.  Paradoks
Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks dapat juga berarti semua hal yang menarik perhatian karena kebenarannya.
Musuh sering merupakan kawan yang akrab.
Ia mati kelaparan di tengah-lengah kekayaannya yang berlimpah-limpah.

u. Oksimoron
Oksimoron (okys = tajam, moros = gila, tolol) adalah suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek yang bertentangan. Atau dapat juga dikatakan, oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan mempergunakan kata-kata yang berlawanan dalam frasa yang sama, dan sebab itu sifatnya lebih padat dan tajam dari paradoks.
Keramah-tamahan yang bengis.
Untuk menjadi manis seeeorang harus menjadi kasar.
flu sudah menjadi rahasia umum.
Dengan membisu seribu kala, mereka sebenamya berteriak-teriak agar diperlakukan dengan adil.

v     WACANA
Harimurti Kridalaksana
Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, siri ensiklopedia dan sebagainya), paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap.

      Praptomo Baryadi
Wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang dinyatakan secara lisan seperti pidato, ceramah, kutbah, dan dialog, atau secara tertulis seperti cerpen, novel, buku, surat, dan dokumen tertulis, yang dilihat dari segi bentuk bersifat kohesif, saling terkait dan dari segi makna bersifat koheren, terpadu. 


Ø      Macam-macam Makna dalam wacana (secara linguistik)
Pada umumnya makna kata pertama-tama dibedakan atas makna yang bersifat denotatif dan makna kata yang bersifat konotatif. Untuk menjelaskan kedua jenis makna ini, perhatikan kalimat-kalimat berikut:
Toko itudilayani gadis-gadis manis.
Toko itu dilayani dara-dara manis.
Toko itu dilayani perawan-perawan manis.
Ketiga kata yang bercetak miring di atas memiliki makna yang sama, ketiganya mengandung referensi yangb sama untuk referen yang sama, yaitu wanita yang masih muda. Namun kata gadis boleh dikatakan mangandung asosiasi yang paling umum, yaitu menunjuk langsung ke wanita yang masih muda, jangan mengandung sesuatu yang lain, yaitu “rasa indah” atau “rasa poetis”, dengan demikian mengandung asosiasi yang lebih menyenangkan. Sedangkan kata perawan, di samping menunjuk makna yang sama, juga mengandung asosiasi yang lain.
Kata yang tidak mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan disebut kata denotatif, atau maknanya disebut makna denotatif; sedangkan makna kata yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu, nilai rasa tertentu di samping makna dasar yang umum, dinamakan makna konotatif  atau konotatif. Jadi dari contoh di atas, kata gadis bersifat denotatif, karena mengacu kepada sejenis makhluk tertentu tanpa suatu penilaian tambahan, sedangkan kata dara dan perawan di samping mengacu kepada sejenis  makhluk tersebut, mengandung juga nilai tambahan.


a.       Makna Denotatif
Makna denotatif disebut juga dengan beberapa istilahlain seperti makna denotasional, makna kognitif, makna konseptual, makna ideasional, makna referensial, atau makna proposisional. Disebut makna denotasional, referensional, konseptual, atau ideasional, karna makna itu menunjuk (denote) kepada suatu referen, konsep, tau ide tertentu dari suatu referen. Disebut makna kognittif karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan; stimulus (dari pihak pembicara) dan respons (dari pihak pendengar) menyangkut hal-hal yang dapat diserap pancaindera (kesadaran) dan rasio manusia. Dan makna ini disebut juga makna proposisional karena ia bertalian dengan informasi-informasi atau pernyataan-pernyataan yang bersifat faktual. Makna ini yang diacu dengan bermacam-macam nama, adalah makna yang paling dasar pada suatu kata.
b.      Makna Konotatif
Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif. Makna konotatif adalah suatu jenis makna di mana stimulus dan respon mengandung nilai-nilai emosional.


Ø      Gaya Kalimat Sebagai Bagian Dari Gaya Wacana
Dalam subbab gaya kalimat ini, permasalahn yang dikaji adalah penggunaan kalimat panjang, kalimat pendek, dan kalimat inversi. Dalam suatu karya sastra, sering terdapat struktur sintaksis yang menyimpang dari kaidah kebahasaan yang berlaku. Struktur sintaksis yang menyimpang ini mungkin disengaja oleh pengarang sebagai usaha untuk memperoleh efek tertentu atau dalam puisi untuk memperoleh ekspresivitas, pemadatan, dan sebagainya. Penyimpangan di bidang struktur kalimat sering dilakukan pengarang.


Ø      Gaya Kata Sebagai Bagian Dari Gaya Kalimat/Wacana
Kata sebagai satuan dari perbendaharaan kata sebuah bahsa mengandung dua aspek, yaitu aspek bentuk atau ekspresi dan aspek makna.
Bentuk atau ekspresi adalah segi  yang dapat diserap dengan panca inderaa, yaitu dengan mendengar atau dengan melihat. Sebaliknya segi isi atau makna adalah segi yang menimbulkan reaksi dalam pikiran pendengar atau pembaca karena rancangan aspek bentuk tadi. Pada waktu orang berteriak “Maling!” timbul reaksi dalam pikiran kita bahwa “ada seorang yang telah berusaha untuk mencuri barang-barang atau milik orang lain”. Jadi bentuk atau ekspresinya adalah kata malingyang diucapkan orang tadi, sedangkan makna atau isi adalah “reaksi yang timbul pada orang yang mendengar”.
Reaksi yang timbul itu dapat berwujud “pengertian” atau “tindakan” atau kedua-duanya. Karena dalam berkomunikasi kita tidak hanya berhadapan dengan “kata”, tetapi dengan suatu rangkaian kata yang mendukung suatu amanat, maka ada beberapa unsur yang terkandung dalam ujaran kita yaitu: pengertian, perasan, nada dan tujuan. pengertian merupakan landasan dasar untuk menyampaikan hal-hal tertentu kepada pendengar atau pembaca dengan mengharapkan reaksi tertentu. Perasaan lebih mengarah kepada sikap pembicara terhadap apa yang dikatakannya, bertalian dengan nilai rasa terhadap apa yang dikatakan pembaca ataupenulis. Nada mencakup sikap pembicara atau penulis kepada pendengar atau pembacanya. Pembaca atau pendengar yang berlainan akan mempengaruhi pula pilihan kata dan cara menyampaikan amanat itu. relasi antara pembicara atau penulis dengan pendengar atau pembaca akan melahirkan nada suatu ujaran. Sedangkan tujuan yaitu efek yang ingin dicapai oleh pembicara atau penulis. Memahami semua hal itu dalam seluruh konteks adalah bagian dari seluruh usaha untuk memahami makna dalam komunikasi.
Unit yang paling kecil dalam bahasa yang mengandung konsep atau gagasan tertentu yaitu kata, maka makna kata mengandung konsep atau gagasan tertentu (yaitu kata), maka makna kata dapat dibatasi sebagai hubungan antara bentuk dengan hal atau barang yang diwakilinya (referen-nya). Kata rumah misalnya adalah bentuk atau ekspresi, sedangkan “barang yang diwakili oleh kata rumah” adalah “sebuah bangunan yang beratap, berpintu, berjendela, yang menjadi tempat tinggal manusia”. Barang itulah yang disebut sebagai referen. Sedangkan hubungan antara keduanya (yaitu antara bentuk dan referen) akan menimbulkan makna atau referensi. Makna atau referensi kata rumah timbul akibat hubungan antara bentuk itu dengan pengalaman non-linguistis, atau barang-barang yang ada di alam.




DAFTAR PUSTAKA

Suber Buku :
Keraf, gorys. 1980. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta : Gramedia.
Syamsuddin. 1992. Studi wacana. Bandung : FBS IKIP Bandung

Sumber Internet :
rajul-al.blogspot.com/2012/01/Makalah-Wacana-Bahasa-Sastra
Indonesia.html
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar