“Gaya Dan Wacana”
“Diajukan
sebagai tugas mata kuliah stilistika”
Oleh:
© DESI
RATNASARI.S : 2222101414
© TITI
NURINDAH YATI : 2222101509
© IIP
PIRDAUS : 2222100094
KELAS : V B
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN
PEDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SULTAN AGENG TIRTAYASA
2012
PENDAHULUAN
o Mengenal Stilistika
Stilistika berasal dari Bahasa
Inggris yaitu “Style” yang berarti gaya dan dari bahasa serapan “linguistik”
yang berarti tata bahasa. Stilistika menurut kamus Bahasa Indonesia yaitu Ilmu
Kebahasaan yang mempelajari gaya bahasa. Sedangkan menurut C. Bally, Jakobson,
Leech, Widdowson, Levin, Ching, Chatman, C Dalan, dan lain-lain menentukan
stilistika sebagai suatu deskripsi linguistik dari bahasa yang digunakan dalam
teks sastra.
Dalam konteks yang lebih luas,
bahkan Jakobson dalam Amminuddin (1995::21) beranggapan bahwa poetiks (puitika)
sebagai teori tentang system dan kaidah teks sastra sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari Linguistik. Bagi jakobson Poetics deals with problem of verbal
structure, just as he analysis of painting is concered with pictorial structure
since linguistics is the global science of verbal structur, poetics may be
regarded as an integral of linguistic.
Stilistika adalah mana lain dari istilah “gaya bahasa”. Lebih khusus lagi, gaya bahasa yang dimaksud adalah penggunaan bahasa dalam karya sastra. Pengertian ini dipertentangkan dengan penggunaan bahasa biasa diluar karya sastra. Penggunaan bahasa diluar karya sastra (Atmazaki, 1990:93)dikenal dengan antara lain: gaya bahasa Koran, gaya bahasa formal, gaya bahasa keilmuan, gaya bahasa pejabat, gaya bahasa humor, gaya bahasa percakapan, dan lain sebagainya.
Berbeda dengan wawasan di atas, Chvatik (Aminuddin :1995 :22) mengemukakan Stilistika sebagai kajian yang menyikapi bahasa dalam teks sastra sebagai kode estetik dengan kajian stilistik yang menyikapi bahasa dalam teks sastra sebagaimana bahasa menjadi objek kajian linguistik. Sedangkan menurut Rene Wellek dan Austin Warren (1990 : 221).Stilistika perhatian utamanya adalah kontras system bahasa pada zamannya.
Stilistika adalah mana lain dari istilah “gaya bahasa”. Lebih khusus lagi, gaya bahasa yang dimaksud adalah penggunaan bahasa dalam karya sastra. Pengertian ini dipertentangkan dengan penggunaan bahasa biasa diluar karya sastra. Penggunaan bahasa diluar karya sastra (Atmazaki, 1990:93)dikenal dengan antara lain: gaya bahasa Koran, gaya bahasa formal, gaya bahasa keilmuan, gaya bahasa pejabat, gaya bahasa humor, gaya bahasa percakapan, dan lain sebagainya.
Berbeda dengan wawasan di atas, Chvatik (Aminuddin :1995 :22) mengemukakan Stilistika sebagai kajian yang menyikapi bahasa dalam teks sastra sebagai kode estetik dengan kajian stilistik yang menyikapi bahasa dalam teks sastra sebagaimana bahasa menjadi objek kajian linguistik. Sedangkan menurut Rene Wellek dan Austin Warren (1990 : 221).Stilistika perhatian utamanya adalah kontras system bahasa pada zamannya.
Bertolak dari berbagai
pengertian di atas, Aminuddin (1995:46) mengartikan stilistika sebagai studi
tentang cara pengarang dalam menggunakan system tanda sejalan dengan gagasan
yang ingin disampaikan dari kompleksitas dan kekayaan unsur pembentuk itu yang
dijadikan sasaran kajian hanya pada wujud penggunaan system tandanya. Walaupun
fokusnya hanya pada wujud system tanda untuk memperoleh pemahaman tentang ciri
penggunaan system tanda bila dihubungkan dengan cara pengarang dalam
menyampaikan gagasan pengkaji perlu juga memahami (i) gambaran obyek/peristiwa,
(ii) gagasan, (iii) ideologi yang terkandung dalam karya sastranya.
Kajian Stilistika merupakan bentuk
kajian yang menggunakan pendekatan obyektif. Dinyatakan demikian karena
ditinjau dari sasaran kajian dan penjelasan yang dibuahkan, kajian stilistika
merupakan kajian yang berfokus pada wujud penggunaan system tanda dalam karya
sastra yang diperoleh secara rasional-empirik dapat dipertanggung jawabkan.
Landasan empiric merujuk pada kesesuian landasan konseptual dengan cara kerja
yang digunakan bila dihubungkan dengan karakteristik fakta yang dijadikan
sasaran kajian.
Pada apresiasi sastra, analisis kajian stilistika digunakan untuk memudahkan menikmati,memahami,dan menghayati system tanda yang digunakan dalam karya sastra yang berfungsi untuk mengetahui ungkapan ekspresif yang ingin diungkapkan oleh pengarang.
Pada apresiasi sastra, analisis kajian stilistika digunakan untuk memudahkan menikmati,memahami,dan menghayati system tanda yang digunakan dalam karya sastra yang berfungsi untuk mengetahui ungkapan ekspresif yang ingin diungkapkan oleh pengarang.
Dari penjelasan selintas di
atas dapat ditarik kesimpulan tentang analisis yang dilakukan apresiasi sastra
meliputi (a) analisis tanda baca yang digunakan pengarang, (b) analisis
hubungan antara system tanda yang satu dengan yang lainnya, (c) analisis
kemungkinan terjemahan satuan tanda yang ditentukan serta kemungkinan bentuk
ekspresi yang dikandungnya. Kaitannya dengan kritik sastra, kajian stilistika
digunakan sebagai metode untuk menghindari kritik sastra yang bersifat
impesionistis dan subyektif. Melalui kajian stilistika (Aminuddin :1995 : 42).diharapkan
dapat memperoleh hasil yang memenuhi kriteria obyektifitas dan keilmiahan.
1.
GAYA SEBAGAI PENYIMPANGAN
Dalam menulis karya sastra banyak penulis beranggapan bahwa dalam menulis
karya sastra ia harus mengeluarkan gejolak perasaan yang demikian kuat
bergolak. Dalam hubungan ini, para penulis juga menganggap bahwa gejolak
perasaan itu adalah sesuatu hal yang mesti dikeluarkan sehingga orang lain juga
akan merasakan perasaan tersebut. Agar gejolak perasaan yang dirasakan penulis
sampai pada pembaca maka penulis sering menggunakan bahasa yang melanggar
aturan tatabahasa. Menurut pandangan Linguistik, persoalan penyimpangan bahasa
dipindahkan pada persoalan keistimewaan bahasa dalam karya sastra, hal yang
biasanya dianggap tidak dipunyai oleh pemakai bbahasa lainnya.
Pesoalan gaya bahasa sebagai penyimpangan juga dapat dilihat dalam hubungan
pertemuan dua sistem, sistem yang dimaksud adalah sistem bahasa dan sistem
puisi. Dalam melihat satu gaya sebagai pertemuan dua sistem, yang berbeda dan
bertentangan, maka kita mesti dapat mengetahui kedua-dua sistem muncul sebagai
akibat pertemuan berbagai-bagai sitem ini. Dengan begitu, penyimpangan bahasa
tidak perlu dihubungkan dengan sesuatu yang menyalahi tatabahasa. Kalau kita
masih ingin melihat gaya dalam rangka penyimpangan, maka ia mesti dilihat dalam
pengertian pemakaian bahasa yang ada pada karya sebelumnya.
Selain
itu pula kita akan melihat bagaimana para sastrawan menggunakan banyak kata
yang masih misterius bahkan dianggap Penggunaan bahasanya”aneh”,
tidak wajar, dan asing yang padahal itu merupakan ciri utama sastra dengan penyimpangan
tadi. Puisi
Amir Hamzah, Chairil Anwar, dan Sutarji Calzoum Bachri, misalnya, dianggap
karya sastra karena menunjukkan penggunaan bahasa yang segar –-antara lain sebagai
akibat dari “perusakan” bahasa. Bahasa yang mereka pergunakan itu relatif
mudah dibedakan dari bahasa yang kita pakai sehari-hari maupun dalam karangan
jenis lain seperti berita, skripsi, dan laporan penelitian. Setidaknya kita
boleh mengatakan bahwa bahasa sastra cenderung metaforis, sedangkan bahasa
skripsi dituntut untuk menghindari metafor agar pengertian yang
disampaikannya tidak bermakna ganda. Dalam percakapan biasa di kedai kopi atau
di kamar tamu, orang tentu akan terheran-heran seandainya kita tiba-tiba
mengucapkan “Habis kikis/Segala cintaku hilang terbang”, meskipun mungkin
bahasa yang dipergunakan Amir Hamzah dalam sajak itu belum begitu “rusak” jika
dibandingkan dengan karya Sutardji Calzoum Bachri dalam kumpulan sajak O.
Jika
penyimpangan bahasa merupakan sarat utama sastra, masalah lain akan muncul
yakni kita juga menerima graffiti --yakni ungkapan atau kalimat atau kata yang
sering dicoretkan di dinding–dinding kamar mandi umum dan tembok-tembok
sekolah-- sebagai karya sastra. Iklan pun harus diterima sebagai karya sastra,
sebab ditulis dalam bahasa yang tidak jarang “menyimpang” dan memberi kesan
yang mendalam. Bahkan jika kita menyinggung orisinalitas pemakaian bahasa
sebagai nilai utama dalam sastra, tentu ada graffiti atau iklan yang melampaui
puisi karya Rendra atau Gunawan Mohammad. Bahkan dalam perkembangan puisi kita,
beberapa penyair yang menyadari pentingnya cara pengucapan telah menciptakan
puisi kongkrit dan puisi mbeling, dua subgenre yang tidak jarang hasil-hasilnya
sulit diterima sebagai karya sastra –sebab antara lain memberi kesan main-main
atau tidak mempergunakan bahasa sebagai mediumnya.
Perhatian
pada pengucapan sastra yang dibedakan dari bahasa sehari-hari menyulitkan kita
juga dalam menghadapi bahasa yang diperlukan dalam novel. Tentu hanya sangat
sedikit novelis yang tujuannya hanya “merusak” bahasa, bahkan tidak bisa
dikatakan bahwa sebagian besar bahasa dalam novel itu metaforis. Bahkan lagi,
sebenarnya kesulitan itu bisa muncul dalam bahasa puisi; hanya kesepakatan
diantara kita saja yang menganggap baris-baris berikut ini adalah sebuah sajak:
“Selama ini kita selalu / ragu-ragu / /dan berkata: / Dua tambah dua /
mudah-mudahan sama dengan empat”. Rangkaian kata itu adalah sajak Taufiq Ismail
yang berjudul ”Aritmetik Sederhana”
Persoalan
dan kesulitan itu tentu tidak usah membuat kita menyerah dengan mengatakan
bahwa tidak ada batasan yang pasti untuk sastra. Kita bisa mengikluti usul yang
menyatakan bahwa sastra adalah segala sesuatu yang dalam masyarakat tertentu pada
masa tertentu dianggap sebagai sastra. Pandangan ini dilandasi kenyataan bahwa
sastra bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, terpisah dari masyarakat yang
melahirkan dan menikmatinya. Sastra mempunyai kedudukan, peran, dan kegunaan
dalam masyarakat --dan itu semua senantiasa mengalami pergeseran dari
waktu ke waktu dan perbedaan antara satu masyarakat dengan masyarakat lain.
Bagi masyarakat tertentu di Jawa pada abad lampau misalnya, yang dinamakan
sasrtra adalah karya seperti ditulis oleh Ronggo Warsito, yakni yang sangat
terikat pada kaidah penulisan dan mengandung nilai pendidikan serta gagasan
luhur. Sampai dengan tahun 50-an, masih banyak budayawan jawa yang merendahkan
cerita pendek dan puisi modern jawa sebagai karangan yang tak karuan bahasanya dan
tidak mendidik, oleh karenanya tidak bisa dianggap sebagai sastra. Sebaliknya
sekarang tentunya sebagian sastrawan muda jawa beranggapan tembang yang tidak
jarang disisipkan dalam penyebar semangat atau Joyoboyo sebagi
hasil ketrampilan saja, dan bukan sastra.
Mungkin
sekali sekarang ini kita beranggapan bahwa sastra tidak harus mendidik,
menghibur saja pun boleh, bahkan main-main pun diperkenankan. Tentu tidak bisa
dikatakan bahwa pada zaman dahulu tidak ada yang menghibur atau main-main
dengan bahasa tetapi sangat mungkin hasilnya tidak dianggap sebagai sastra.
2. GAYA SEBAGAI PILIHAN KEMUNGKINAN
Menurut Junus (1989:57) gaya melibatkan pilihan. Tanpa
pilihan tidak mungkin ada gaya. Sebelum masuk kepada persoalan gaya yang
berhubungan dengan pilihan ini, ada dua persoalan yang mesti diselesaikan dulu,
yaitu hakikat variasi dan persoalan yang menyangkut petanda dan penanda.
Variasi adalah bentuk yang tidak seragam atau berbeda-beda, kelainan atau
kepelbagaian dalam bentuk, reka cipta, pilihan diksi, dan pilihan dialek.
Setiap orang punya semacam pengertian kalau istilah variasi diucapkan. Begitu
juga halnya kalau diucapkan dalam hubungan unsur bahasa.
Variasi akan dilihat sebagai unsur bahasa yang dapat
dipilih tanpa mengubah arti. Dengan begitu, pada tahap dasar, dengan mudah
orang akan menerima gaya sebagai pemilihan daripada pelbagai variasi
Persoalan pilihan ada hubungan dengan persoalan variasi
dalam pembicaraan linguistik. Ada berbagai-bagai takrifan variasi, iaitu
berhubungan dengan beberapa bentuk yang dianggap tidak berbeda arti, suatu
bentuk yang hanya dipakai dalam posisi tertentu (variasi terikat), variasi
bebas, perbedaan dialek, dan perbedaan masa. Selain itu, gaya sebagai pilihan
biasanya dihubungkan dengan faktor keindahan sesuai dengan prinsip estetik.
Persoalan gaya sebagai pilihan kemungkinan akan lebih terlihat apabila dilihat
dalam hubungan dengan petanda dan penanda. Dengan mengatakan gaya sebagai
pilihan, maka sesuatu pemikiran dapat dinyatakan dalam beberapa ucapan yang
tidak berbeda arti. Dalam hubungan stilistik, perbedaan dikatakan hanya
perbedaan gaya, dan ini berhubungan dengan keindahan yang juga berhubungan
dengan estetik.
Tidak ada variasi tanpa perubahan atau perbedaan arti. Di
sinilah muncul persoalan tentang
hubungan antara penanda dan petanda. Sebuah petanda dapat diucapkan dengan
beberapa penanda. Petanda merupakan rujukan bagi penanda. Misalnya kata ‘aku’
dan ‘saya’ merupakan rujukan kata ganti orang pertama. Kata ganti orang pertama
disebut sebagai petanda sedangkan kata ‘aku’ dan ‘saya’ disebut sebagai
penanda. Gaya pilihan kemungkinan, sangat dekat hubungannya dengan penulis.
Dalam hal memilih kata rujukan orang pertama (petanda) sahaja penulis akan
melibatkan pelbagai penanda yang ada. Kemungkinan pemilihan penanda tertentu
telah menunjukkan gaya penulis.
Gaya sebagai pilihan kemungkinan dalam stilstik memberi
peranan penting pada persoalan makna dan pemaknaan. Stilistik lebih
mengeksploit berbagai-bagai kemungkinan arti, sesuatu yang mungkin tidak
terfikir sebelumnya. Dalam pengungkapan peristiwa erotis.
Pemilihan leksikal tertentu untuk mewujudkan peristiwa
erotis pula menjadi hak penulis yang akan mewakili gaya penulis tersebut. Jika
penulis memilih kata-kata kiasan untuk mengungkapkan unsur erotis, itulah gaya
penulis tersebut. Selain itu, pemilihan leksikal yang berunsur erotis bersifat
material ataupun mental juga mewakili gaya sebagai pilihan kemungkinan. Gaya
sebagai pilihan kemungkinan juga berhubungan dengan gaya sebagai serangkaian
ciri peribadi kerana penulis memilih leksikal tertentu merupakan gaya penulis
itu dan menunjukkan ciri penulis tersebut.
Menurut Umar Junus (1989) gaya merupakan serangkaian ciri
peribadi. Hal ini bererti gaya adalah orang atau penulis itu sendiri. Tambah
beliau lagi pengertian gaya ini boleh dihubungkan dengan pengertian populer.
Dalam kehidupan, kita mungkin dapat mereka siapa yang berada di depan kita
hanya dengan memperhatikan bagaimana ia melenggang, selagi kita memang kenal
dengan lenggang orang itu. Ada ciri peribadi dengan lenggang seseorang dan
kemudian kita letakkan kepada orang itu. Kita seakan beranggapan bahawa orang
lain tidak mungkin berlenggang seperti itu, kecuali menirunya. Dengan
mengatakan ‘gaya sebagai serangkaian ciri peribadi’ maka dalam pemakaian bahasa
seseorang, ada sesuatu yang dianggap milik peribadi penulisnya. Dapat dikatakan
bahawa gaya penulis itu khas dan tidak boleh dimiliki oleh penulis lain. Dalam
kita membicarakan tentang ‘gaya sebagai serangkaian ciri peribadi’, kita
mungkin menghubungkan dengan pengertian yang ada pada ‘gaya peribadi’, yang
membawa kita berfikir kepada ‘gaya sosial’ atau ‘gaya kumpulan’.
Persoalan yang timbul adalah dalam usaha menentukan ciri
peribadi gaya seseorang. Perbezaan karya dua orang penulis seperti Iwan Simatupang Dan Amir Hamzah, akan
menimbulkan gaya yang berbeda dalam mengungkapkan peristiwa erotis kerana dua
penulis ini mempunyai ciri peribadi masing-masing. Perbedaan ciri peribadi
kedua-dua penulis ini, akan terlihat daripada leksikal-leksikal yang
mengandungi unsur erotis yang mereka pilih.
3. GAYA DAN WACANA
PENGERTIAN GAYA BAHASA
Stile (style atau gaya bahasa) (Keraf, 1994:
113) adalah cara pengungkapan pikiran melalui bahasa secara khas yang
memperlihatkan jiwa dan kepribadian pengarang. Stile pada hakekatnya merupakan
teknik yakni teknik pemilihan ungkapan kebahasaan yang dirasa dapat mewakili
sesuatu yang akan disampaikan atau diungkapkan.
Gaya
atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lapisan lilin.
Keahlian untuk menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan
pada lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian
untuk menulis indah, maka style lalu
berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan
kata-kata secara indah.
Karena perkembangan itu, gaya bahasa
atau style menjadi masalah atau
bagian dari diksi atau pilihan kata
yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa atau klausa tertentu
untuk menghadapi situasi tertentu. Sebab itu, persoalan gaya bahasa meliputi
semua hirarki kebahasaan: pilihan kata secara individual, frasa, klausa, dan
kalimat, bahkan mencakup juga sebuah wacana secara keseluruhan. Malahan nada
yang tersirat di balik sebuah wacana termasuk pula persoalan gaya bahasa. Jadi
jangkauan gaya bahasa sebenarnya sangat luas, tidak hanya mencakup unsur-unsur
kalimat yang mengandung corak-corak tertentu, seperti yang umum terdapat dalam
retorika-retorika klasik.
Walaupun kata style berasal dari bahasa Latin, orang Yunani sudah mengembangkan sendiri teori mengenai style. Ada dua aliran yang terkenal,
yaitu:
(a) Aliran
Platonik: menganggap style sebagaikualitas
suatu ungkapan; menurut mereka ada ungkapan yang memiliki style, ada juga yang tidak memiliki style.
(b) Aliran
Aristoteles; menganggap bahwa gaya adalah suatu kualitas yang inheren, yang ada
dalam tiap ungkapan.
Dengan
demikian, aliran plato mengatakan bahwa ada karya yang memiliki gaya dan ada
karya yang sama sekali tidak memiliki gaya. Sebaliknya, aliran aristoteles
mengatakan bahwa semua karya memiliki gaya yang tinggi ada yang rendah, ada
karya yang memiliki gaya yang kuat ada yang lemah, ada yang memiliki gaya yang
baik ada yang memiliki gaya yang jelek.
Bila
kita melihat gaya secara umum, kita dapat mengatakan bahwa gaya adalah cara
mengungkapkan diri sendiri, entah melalui bahasa, tingkah laku, berpakaian, dan
sebagainya. Dengan menerima pengertian ini, maka kita dapat mengatakan, “Cara
berpakaiannya menarik perhatian orang banyak”, “Gaya menulisnya lain daripada
kebanyakan orang”, yang memang sama artinya dengan “gaya berpakaian”, “gaya
menulis”, dan “gaya berjalan”. Dilihat dari segi bahasa, gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa.
Gaya bahasa memungkinkan kita dapat menilai pribadi. Semakin baik gaya
bahasanya, semakin baik pula penilaian orang terhadapnya; semakin buruk gaya
bahasa seseorang, semakin buruk pula penilaian yang diberikan padanya.
Akhirnya
style atau gaya bahasa dapat dibatasi
sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa melalui bahasa secara khas
yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa).
Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur
Kalimat
Di
bawah ini disampaikan pengertian dari jenis-jenis gaya bahasa di atas yang
dirumuskan secara bebas oleh peneliti berdasarkan pemahaman yang penulis
peroleh dari berbagai sumber, “Diksi dan Gaya Bahasa” karya Gorys keraf, juga
karya Henry Guntur Tarigan, Rahmat Joko Pradopo dan dijumpai di segenap buku
yang membicarakan gaya bahasa.
1. Klimaks, yang disebut juga gradasi, adalah
gaya bahsa berupa ekspresi dan pernyataan dalam rincian yang secara periodek
makn lama makin meningkat, baik kuantitas, kualitas, intensitas, nilainya.
Contoh:
a) Idealnya setiap anak Indonesia
pernah menempuh pendidikan formal di TK, SD, SMP, SMA/SMK, syukur S2, S3 sampai
gelar Doktor dan kalau mengajar di Perguruan Tinggi bergelar Profesor/Guru
Besar pula.
b) Dalam apresiasi sastra, mula-mula
kita hanya membaca selayang pandang puisi yang akan kita apresiasi, lalu kita
membaca berulang-ulang sampai paham maksudnya, merasakan keindahannya, terus
mengkajidalami, bisa membawakannya penuh penghayatan, sampai kita mampu
menghargai keberadaan dan mencintainnya, syukur juga terpangil untuk kreatif
menciptakan bentuk-bentuk sastra.
2. Antiklimaks merupakan antonim dari klimaks adalah gaya bahasa berupa kalimat terstruktur dan isinya mengalami penurunan kualitas, kuantitas intensitas. Gaya bahasa ini di mulai dari puncak makin lama makin ke bawah.
Contoh:
a) Bagi milyader bakhlil, jangankan
menyumbang jutaan rupiah, seratus ribu, lima puluh ribu, sepuluh ribu, seribu
rupiah pun ia enggan, masih dihitung-hitung.
b) Jauh sebelum memperoleh mendali emas
dalam Olimpiade Athena 2004 cabang bulutangkis, Taufik Hidayat niscaya telah
menjadi juara nasional dan sebelumnya juga tingkat propinsi, kabupaten, malahan
pula tingkat kecamatan, desa, RT/RW.
3. Paralelisme adalah gaya bahasa berupa penyejajaran antara frase-frase yang menduduki fungsi yang sama. Contoh:
Kriminalitas
dan kemaksiatan itu akan menyengsarakan banyakmorang, membuat menderita
kurban-kurbannya.
4. Antitesis adalah gaya bahsa yang menghadirkasn kelompok-kelompok kata yang berlawanan maksudnya. Contoh:
Kau
yang berjani kau pula yang mengingkari
Kau
yang mulai kau pula yang mangakhiri
Di
timur matahari terbit dan di barat ia tengggelam
5. Repetisi adalah gaya bahasa dengan jalan mengulanmg pengunaan kata atau kelompok kata tertentu. Contoh:
o
Seumpama
eidelwis akulah cinta abadi yang tidak akan pernah layu
o
Seumpama
merpati akulah kesetiaan yang tidak pernah ingkar janji
o
Seumpama
embun akulah kesejukan yang membasuh hati yang lara
o
Seumpama
samudra akulah kesabaran yang menampung keluh kesah segala muara
Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna (Teori Tradisional)
Gaya bahasa berdasarkan
makna diukur dan langsung tidaknya makna, yaitu apakah acuan yang dipakai masih
mempertahankan makna denotatifnya atau sudah ada penyimpangan. Bila acuan yang
digunakan itu masih mempertahankan makna dasar, maka bahasa itu masih bersifat
polos. Tetapi bila sudah ada perubahan makna, entah berupa makna konotatif atau
sudah menyimpang jauh dan makna denotatifnya, maka acuan itu dianggap sudah
memiliki gaya
sebagai yang dimaksudkan di sini.
Gaya
bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna ini biasanya disebut sebagai trope atau figure of speeeh. Istilahtrope sebenarnya berarti “pembalikan” atau
“penyimpangan”. Kata trope lebih dulu populer sampai dengan abad XVIII. Karena
ekses yang tenjadi sebelumnya, trope dianggap
sebagai penggunaan bahasa yang indah dan menyesatkan. Sebab itu, pada abad
XVIII istilah itu mulai diganti dengan figure of speeeh.Terlepas dari konotasi
kedua istilah itu, kita dapat mempergunakan kedua istilah itu dengan pengertian
yang sama, yaitu suatu penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif
dan bahasa biasa, entah dalam (1) ejaan, (2) pembentukan kata, (3) konstruksi
(kalimat, klausa, frasa), atau (4) aplikasi sebuah istilah, untuk memperoleh
kejelasan, penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek yang lain. Trope atau figure of speeeh dengan
demikian memiliki bermacam-macam fungsi: menjelaskan, memperkuat, menghidupkan
obyek mati, menstimulasi asosiasi, menimbulkan gelak ketawa, atau untuk hiasan.
Gaya bahasa yang disebut trope atau figure of speeeh dalam uraian ini dibagi atas dua
kelompok, yaitu gaya bahasa retoris, yang semata-mata merupakan penyimpangan
dan konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu, dan gaya bahasa kiasan yang
merupakan penyimpangan yang lebih jauh, khususnya dalam bidang makna.
Macam-macam gaya
bahasa retoris seperti yang dimaksud di atas adalah:
a. Aliterasi
Aliterasi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan
yang sama. Biasanya dipergunakan dalam puisi, kadangkadang dalam prosa, untuk
perhiasan atau untuk penekanan. Misalnya:
Takut titik lalu tumpah.
Keras-keras kerak kena air
lembut juga.
b. Asonansi
Asonansi adalah semacam gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi
vokal yang sama. Biasanya dipergunakan dalam puisi, kadang-kadang juga dalam
prosa untuk memperoleh efek penekanan atau sekadar keindahan. Misalnya:
Ini muka penuh luka siapa
punya.
Kura-kura dalam perahu,
pura-pura tidak tahu.
c. Anastrof
Anastrof atau inversi adalah semacam gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan
susunan kata yang biasa dalam kalimat.
Pergilah ia meninggalkan kami,
keheranan kami melihat perangainya. Bersorak-sorak orang di tepi jalan memukul
bermacam-macam bunyi-bunyian melalui gerbang dihiasi bunga dan panji berkibar.
d. Apofasis atau Preterisio
Apofasis atau disebut juga preterisio merupakan sebuah
gaya di mana
penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal.
Berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi sebenamya ia menekankan hal
itu. Berpura-pura melindungi atau menyembunyikan sesuatu, tetapi sebenamya memamerkannya. Misalnya:
Jika saya tidak menyadari
reputasimu dalam kejujuran, maka sebenartya saya ingin mengatakan bahwa anda
pasti membiarkan anda menipu diri sendiri.
Saya tidak mau mengungkapkan dalam forum ini hahwa saudara .telah menggelapkan ratusan juta rupiah uang negara.
Saya tidak mau mengungkapkan dalam forum ini hahwa saudara .telah menggelapkan ratusan juta rupiah uang negara.
e. Apostrof
Adalah semacam gaya
yang berbentuk pengalihan amanat dan para hadirin kepada sesuatu yang tidak
hadir. Cara ini biasanya dipergunakan oleh orator klasik. Dalam pidato yang
disampaikan kepada suatu massa,
sang orator secara tiba-tiba mengarahkan pembicaraannya langsung kepada sesuatu
yang tidak hadir: kepada mereka yang sudah meninggal, atau kepada barang atau
obyek khayalan atau sesuatu yang abstrak, sehingga tampaknya ia tidak berbicara
kepada para hadirin.
Hai kamu dewa-dewa yang berada di surga, datanglah dan bebaskanlah kami dan belenggu penindasan ini.
Hai kamu dewa-dewa yang berada di surga, datanglah dan bebaskanlah kami dan belenggu penindasan ini.
Hai kamu semuna yang telah
menumpahkan darahmu untuk tanah air tercinta ini berilah agar kami dapat
mengenyam keadilan dan kemerdekaan seperti yang pernah kamu perjuangkan.
f. Asindeton
Adalah suatu gaya
yang berupa acuan, yang bersifat padat dan mampat di mana beberapa kata, frasa,
atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung. Bentuk-bentuk
itu biasanya dipisahkan saja dengan koma, seperti ueapan terkenal dan Julius
Eaesar: Vini, vidi, vici, “saya datang, saya lihat, saya
menang”. Perhatikan pula contoh berikut:
Materi pengalaman diaduk-aduk,
modus eksistensi dan cogito ergo sum dicoba, medium bahasa dieksploitmr,
imaji-imaji, metode, prosedur dungkir batik, .masih itu-itu juga.
Dan kesesakan, kepedihan,
kesakitan, seribu derita detik-detik penghabisan orang melepaskan nyawa.
g. Polisindeton
Polisindeton adalah suatu gaya yang merupakan kebalikan dan asindeton.
Beberapa kata, frasa, atau klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain
dengan kata-kata sambung.
Dan kemanakah burung-burung
yang gelisah dan tak berumah dan tak menyerah pada gelap dan dirigin yang bakal
merontokkan bulu-bulunya?
h. Kiasmus
Kiasmus (chiasmus) adalah semacam acuan atau gaya bahasa yang terdiri
dan dua bagian, baik frasa atau klausa, yang sifatnya berimbang, dan
dipertentangkan satu sama lain, tetapi susunan frasa atau klausanya itu
terbalik bila dibandingkan dengan frasa atau klausa lainnya.
Semua kesabaran kami sudah hilang,
lenyap sudah ketekunan kami untuk melanjutkan usaha itu.
i. Elipsis
Elipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur
kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca
atau pendengar, sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang
berlaku.
Masihkah kau tidak percaya bahwa dan segi fisik engkau tak apa-apa, badanmu sehat; tetapi psikis…
Masihkah kau tidak percaya bahwa dan segi fisik engkau tak apa-apa, badanmu sehat; tetapi psikis…
Bila bagian yang dihilangkan itu berada di
tengah-tengah kalimat disebut anakoluton, misalnya:
Jika anda gagal melaksanakan
tugasmu.…tetapi baiklah kita tidak membicarakan hal itu.
Bila pemutusan di tengah-tengah kalimat itu
dimaksudkan untuk menyatakan secara tak langsung suatu peringatan atau karena
suatu emosi yang kuat, maka disebut aposiopesis.
j. Eufemismus
Kata eufeinisme atau eufeinismus diturunkan dan kata
Yunani euphemizein yang berarti “mempergunakan kata-kata dengan arti yang baik
atau dengan tujuan yang baik”. Sebagai gaya
bahasa, eufemisme adalah semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak
menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan yang halus untuk
menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung perasaan
atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan.
Ayahya sudah tak ada di tengah-tengah mereka (mati).
Ayahya sudah tak ada di tengah-tengah mereka (mati).
Pikiran sehatnya semakin
merosot saja akhir-akhir ini (gila).
Anak saudara memang tidak
terlalu cepat mengikuli pelajaran seperti anak-anak lainnya (bodoh).
k. Litotes
Adalah semacam gaya
bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri.
Sesuatu hal diriyatakan kurang dan keadaan sebenamya. Atau suatu pikiran diriyatakan dengan menyangkal lawan katanya.
Kedudukan saya ini tidak ada
artinya sama sekali.
Saya tidak akan merasa bahagia
bila men dapat warisan satu inilyar rupiah. Apa yang kami hadiahkan ini
sebenamya tidak ada artinya sama sekali bagimu.
Rumah yang buruk inilahyang merupakan hasil usaha kami bertahun-tahun lamanya.
Rumah yang buruk inilahyang merupakan hasil usaha kami bertahun-tahun lamanya.
l. Histeron Proteron
Adalah semacam gaya
bahasa yang merupakan kebalikan dan sesuatu yang logis atau kebalikan dan
sesuatu yang wajar, misalnya menempatkan sesuatu yang terjadi kemudian pada
awal peristiwa. Juga disebut hiperbaton.
Saudara-saudara, sudah lama
terbukti bahwa Anda sekalian tidak lebih baik
sedikit pun dan para pesuruh,
hal itu tampak dan anggapan yang berkembang akhir-akhir ini.
Jendela ini telah memberi
sebuah kamar padamu untuk dapat berteduh dengan tenang.
Kereta melaju dengan cepat di depan kuda yang menariknya. Bila ia sudah berhasil mendaki karang terjal itu, sampailah ia di tepi pantai yang luas dengan pasirnya yang putih.
Kereta melaju dengan cepat di depan kuda yang menariknya. Bila ia sudah berhasil mendaki karang terjal itu, sampailah ia di tepi pantai yang luas dengan pasirnya yang putih.
m. Pleonasme dan Tautologi
Pada dasamya pleonasme dan tautologi adalah acuan yang
mempergunakan kata-kata lebih banyak daripada yang diperlukan untuk menyatakan
satu pikiran atau gagasan. Walaupun secara praktis kedua istilah itu disamakan
saja, namun ada yang ingin membedakan keduanya. Suatu acuan disebut pleonasme
bila kata yang berlebihan itu dihilangkan, artinya tetap utuh. Sebaliknya,
acuan itu disebut tautologi kalau kata yang berlebihan itu sebenamya mengandung
perulangan dan sebuah kata yang lain. Misalnya:
Saja telah mendengar hal itu
dengan telinga saja sendiri.
Saya telah melihat kejadian itu
dengan mata kepala saya sendiri. Darah yang merah itu melumuri seluruh
tubuhnya.
n. Perifrasis
Sebenamya perifrasis adalah gaya yang mirip dengan pleonasme, yaitu
mempergunakan kata lebih banyak dan yang diperlukan. Perbedaannya terletak
dalam hal bahwa kata-kata yang berkelebihan itu sebenamya dapat diganti dengan
satu kata saja.’ Misalnya:
Ia telah beristirahat dengan damai
(mati, atau meninggal). Jawaban bagi perinintaan Saudara adalah tidak
(ditolak).
o. Prolepsis atau Antisipasi
Prolepsis atau antisipasi adalah semacam gaya bahasa di mana orang
mempergunakan lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa atau
gagasan yang sebenarnya terjadi. Misalnya dalam mendeskripsikan peristiwa
kecelakaan dengan pesawat terbang, sebelum sampai kepada peristiwa kecelakaan
itu sendiri, penulis sudah mempergunakan kata pesawat yang sial itu. Padahal
kesialan baru terjadi kemudian. Perhatikan pula kalimat-kalimat berikut yang
mengandung gaya
prolepsis atau antisipasi itu:
Almarhum Pardi pada waktu itu
menyatakan bahwa ia tidak mengenal orang itu.
Kedua orang itu bersama calon pembunuhnya segera meninggalkan tempat itu.
Pada pagi yang naas itu, ia mengendarai sebuah sedan biru.
Kedua orang itu bersama calon pembunuhnya segera meninggalkan tempat itu.
Pada pagi yang naas itu, ia mengendarai sebuah sedan biru.
p. Erotesis atau Pertanyaan Retoris
Erotesis atau pertanyaan retoris adalah semacam
pertanyaan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk
mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali
tidak menghendaki adanya suatu jawaban. Gaya
ini biasanya dipergunakan sebagai salah satu alat yang efektif oleh para
orator. Dalam pertanyaan retoris terdapat asumsi bahwa hanya ada satu jawaban
yang mungkin.
Terlalu banyak komisi dan
perantara yang masing-masing menghendaki pula imbalan jasa. Herankah Saudara
kalau harga-harga itu terlalu tinggi? Apakah saya menjadi wali kakak saya?
Rakyatkah yang harus menanggung
akibat semua korupsi dan manipulasi di negara ini?
q. Silepsis dan Zeugma
Silepsis dan zeugma adalah gaya di mana orang mempergunakan dua
konstruksi rapatan dengan menghubungkan sebuah kata dengan dua kata lain yang
sebenamya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata pertama. Dalam
silepsis, konstruksi yang dipergunakan itu secara gramatikal benar, tetapi
secara semantik tidak benar.
Ia sudah kehilangan topi dan
semangatnya.
Fungsi dan sikap bahasa.
Konstruksi yang lengkap adalah kehilangan topi dan
kehilangan semangat, yang satu memiliki makna denotasional, yang lain memiliki
makna kiasan; demikian juga ada konstruksi fungsi bahasa dan sikap bahasa namun
makna gramatikanya berbeda, yang satu berarti “fungsi dan bahasa” dan yang lain
“sikap terhadap bahasa”.
r. Koreksio atau Epanortosis
Koreksio atau epanorlosis adalah suatu gaya yang berwujud,
mula-mula menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya.
Sudah empat kali saya
mengunjungi daerah itu, ah bukan, sudah lima
kali.
s. Hiperbol
Adalah semacam gaya
bahasa yang mengandung suatu pemyataan yang berlebihan, dengan
membesar-besarkan sesuatu hal.
Kemarahanku sudah menjadi-jadi
hingga hampir-hampir meledak aku. Jika kau terlambat sedikit saja, pasti kau
tidak akan diterima lagi.
Prajurit itu masih tetap
berjuang dan sama sekali tidak tahu bahwa ia sudah mati.
t. Paradoks
Paradoks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang
nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks dapat juga berarti semua hal yang
menarik perhatian karena kebenarannya.
Musuh sering merupakan kawan
yang akrab.
Ia mati kelaparan di
tengah-lengah kekayaannya yang berlimpah-limpah.
u. Oksimoron
Oksimoron (okys = tajam, moros = gila, tolol) adalah
suatu acuan yang berusaha untuk menggabungkan kata-kata untuk mencapai efek
yang bertentangan. Atau dapat juga dikatakan, oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan
dengan mempergunakan kata-kata yang berlawanan dalam frasa yang sama, dan sebab
itu sifatnya lebih padat dan tajam dari paradoks.
Keramah-tamahan yang bengis.
Untuk menjadi manis seeeorang
harus menjadi kasar.
flu sudah menjadi rahasia umum.
Dengan membisu seribu kala,
mereka sebenamya berteriak-teriak agar diperlakukan dengan adil.
v
WACANA
Harimurti
Kridalaksana
Wacana ini
direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, siri ensiklopedia
dan sebagainya), paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap.
Praptomo
Baryadi
Wacana adalah satuan bahasa terlengkap
yang dinyatakan secara lisan seperti pidato, ceramah, kutbah, dan dialog, atau
secara tertulis seperti cerpen, novel, buku, surat, dan dokumen tertulis, yang
dilihat dari segi bentuk bersifat kohesif, saling terkait dan dari segi makna
bersifat koheren, terpadu.
Ø
Macam-macam
Makna dalam wacana (secara linguistik)
Pada
umumnya makna kata pertama-tama dibedakan atas makna yang bersifat denotatif dan makna kata yang bersifat konotatif. Untuk menjelaskan kedua jenis
makna ini, perhatikan kalimat-kalimat berikut:
Toko
itudilayani gadis-gadis manis.
Toko
itu dilayani dara-dara manis.
Toko
itu dilayani perawan-perawan manis.
Ketiga
kata yang bercetak miring di atas memiliki makna yang sama, ketiganya
mengandung referensi yangb sama untuk
referen yang sama, yaitu wanita yang masih muda. Namun kata gadis boleh dikatakan mangandung
asosiasi yang paling umum, yaitu menunjuk
langsung ke wanita yang masih muda, jangan
mengandung sesuatu yang lain, yaitu “rasa indah” atau “rasa poetis”, dengan
demikian mengandung asosiasi yang lebih menyenangkan. Sedangkan kata perawan, di samping menunjuk makna yang sama, juga mengandung asosiasi yang lain.
Kata
yang tidak mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan disebut kata denotatif, atau maknanya disebut makna denotatif; sedangkan makna kata
yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu, nilai rasa tertentu di
samping makna dasar yang umum, dinamakan makna
konotatif atau konotatif. Jadi dari contoh di atas, kata gadis bersifat denotatif, karena
mengacu kepada sejenis makhluk tertentu tanpa suatu penilaian tambahan,
sedangkan kata dara dan perawan di samping mengacu kepada sejenis makhluk tersebut, mengandung juga nilai
tambahan.
a. Makna Denotatif
Makna
denotatif disebut juga dengan beberapa istilahlain seperti makna denotasional,
makna kognitif, makna konseptual, makna ideasional, makna referensial, atau
makna proposisional. Disebut makna denotasional, referensional, konseptual,
atau ideasional, karna makna itu menunjuk (denote)
kepada suatu referen, konsep, tau ide tertentu dari suatu referen. Disebut
makna kognittif karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan;
stimulus (dari pihak pembicara) dan respons (dari pihak pendengar) menyangkut
hal-hal yang dapat diserap pancaindera (kesadaran) dan rasio manusia. Dan makna
ini disebut juga makna proposisional karena ia bertalian dengan
informasi-informasi atau pernyataan-pernyataan yang bersifat faktual. Makna ini
yang diacu dengan bermacam-macam nama, adalah makna yang paling dasar pada
suatu kata.
b. Makna Konotatif
Konotasi
atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif, atau makna
evaluatif. Makna konotatif adalah suatu jenis makna di mana stimulus dan respon
mengandung nilai-nilai emosional.
Ø
Gaya Kalimat Sebagai Bagian Dari Gaya
Wacana
Dalam
subbab gaya kalimat ini, permasalahn yang dikaji adalah penggunaan kalimat
panjang, kalimat pendek, dan kalimat inversi. Dalam suatu karya sastra, sering
terdapat struktur sintaksis yang menyimpang dari kaidah kebahasaan yang
berlaku. Struktur sintaksis yang menyimpang ini mungkin disengaja oleh
pengarang sebagai usaha untuk memperoleh efek tertentu atau dalam puisi untuk
memperoleh ekspresivitas, pemadatan, dan sebagainya. Penyimpangan di bidang
struktur kalimat sering dilakukan pengarang.
Ø
Gaya
Kata Sebagai Bagian Dari Gaya Kalimat/Wacana
Kata
sebagai satuan dari perbendaharaan kata sebuah bahsa mengandung dua aspek,
yaitu aspek bentuk atau ekspresi dan aspek makna.
Bentuk atau
ekspresi adalah segi yang dapat diserap dengan panca inderaa,
yaitu dengan mendengar atau dengan melihat. Sebaliknya segi isi atau makna adalah segi yang menimbulkan reaksi dalam pikiran pendengar
atau pembaca karena rancangan aspek bentuk tadi. Pada waktu orang berteriak “Maling!” timbul reaksi dalam pikiran
kita bahwa “ada seorang yang telah berusaha untuk mencuri barang-barang atau
milik orang lain”. Jadi bentuk atau ekspresinya adalah kata malingyang diucapkan orang tadi,
sedangkan makna atau isi adalah “reaksi yang timbul pada
orang yang mendengar”.
Reaksi
yang timbul itu dapat berwujud “pengertian” atau “tindakan” atau kedua-duanya.
Karena dalam berkomunikasi kita tidak hanya berhadapan dengan “kata”, tetapi
dengan suatu rangkaian kata yang mendukung suatu amanat, maka ada beberapa unsur yang terkandung dalam ujaran kita
yaitu: pengertian, perasan, nada dan tujuan. pengertian merupakan landasan
dasar untuk menyampaikan hal-hal tertentu kepada pendengar atau pembaca dengan
mengharapkan reaksi tertentu. Perasaan lebih
mengarah kepada sikap pembicara terhadap apa yang dikatakannya, bertalian
dengan nilai rasa terhadap apa yang dikatakan pembaca ataupenulis. Nada mencakup sikap pembicara atau
penulis kepada pendengar atau pembacanya. Pembaca atau pendengar yang berlainan
akan mempengaruhi pula pilihan kata dan cara menyampaikan amanat itu. relasi
antara pembicara atau penulis dengan pendengar atau pembaca akan melahirkan
nada suatu ujaran. Sedangkan tujuan yaitu
efek yang ingin dicapai oleh pembicara atau penulis. Memahami semua hal itu
dalam seluruh konteks adalah bagian dari seluruh usaha untuk memahami makna dalam komunikasi.
Unit
yang paling kecil dalam bahasa yang mengandung konsep atau gagasan tertentu
yaitu kata, maka makna kata mengandung
konsep atau gagasan tertentu (yaitu kata),
maka makna kata dapat dibatasi
sebagai hubungan antara bentuk dengan hal
atau barang yang diwakilinya (referen-nya).
Kata rumah misalnya adalah bentuk atau ekspresi, sedangkan “barang yang diwakili oleh kata rumah” adalah “sebuah bangunan yang
beratap, berpintu, berjendela, yang menjadi tempat tinggal manusia”. Barang
itulah yang disebut sebagai referen. Sedangkan
hubungan antara keduanya (yaitu antara bentuk
dan referen) akan menimbulkan makna atau referensi. Makna atau referensi
kata rumah timbul akibat hubungan
antara bentuk itu dengan pengalaman non-linguistis, atau barang-barang yang ada
di alam.
DAFTAR PUSTAKA
Suber Buku :
Keraf, gorys. 1980. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta : Gramedia.
Syamsuddin. 1992. Studi wacana. Bandung : FBS IKIP Bandung
Sumber Internet :
rajul-al.blogspot.com/2012/01/Makalah-Wacana-Bahasa-Sastra
Indonesia.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar